Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 21 Desember 2025

Pengurus KAKR GBKP Minta Pemerintah Ubah RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

- Sabtu, 03 November 2018 11:45 WIB
372 view
Medan (SIB)- Komisi Anak GBKP yaitu Pengurus Kebaktian Anak Kebaktian Remaja (KAKR) meminta kepada pemerintah agar mendengarkan masukan dari masyarakat khususnya pengguna RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Seperti pasal Sekolah Minggu yang menjadi perhatian para pengurus gereja, dimana pasal tersebut dianggap terlalu mengekang kebebasan beribadah bagi sekolah minggu.

Setiap agama memiliki cara untuk mendidik anak-anak, dan belum tentu bisa disamaratakan peraturan untuk semuanya, ujar Ketua KAKR GBKP D Gurusinga SE didampingi Wakil Ketua Sadrah Sukatendel, Sekretaris Pdt Oklin J Tarigan SSi Teol serta Keuangan Novarah Kembaren, Jumat (2/11) menanggapi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Sebaiknya, pasal yang dibuat untuk mengatur Sekolah Minggu tidak usah dicantumkan karena sudah dari dulu ada aturan di masing-masing agama dan tidak ada masalah selama ini, ujarnya lagi. Kalau pasal itu dibuat, artinya justru akan mempersulit jalannya kegiatan tersebut, sebutnya lagi.

Seperti yang dikritisi PGI sebelumnya, soal syarat pendirian pendidikan keagamaan, yaitu memasukkan peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota, sama saja dengan mengekang kebebasan masyarakat dalam mendidik anak untuk mengenal agamanya.

Aturan ini dinilai tak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja di Indonesia. PGI juga sudah menyatakan model pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi tak bisa disetarakan dengan pesantren.

Pengurus KAKR GBKP menilai RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan belum mengakomodir semua agama di Indonesia. Beberapa pasal juga masih terdapat perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain. Dengan demikian secara perundang-undangan RUU ini belum merengkuh kepentingan, kekhasan dan pendidikan keagamaan yang lain. Gurusinga menilai RUU itu tidak digarap dengan cermat dan teliti.

Seharusnya RUU ini harus dimaksimalkan dengan mendengarkan masukan dari masyarakat dan tokoh agama yang ada, ujarnya lagi. Terlebih lagi, soal syarat pendirian pendidikan keagamaan seperti Sekolah Minggu dan Katekisasi dengan memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten, sangat tidak relevan, ujarnya lagi.

Ada beberapa usulan yang disampaikan Pengurus KAKR GBKP, di antaranya cabut dua pasal yang menjadi permasalahan bagi umat Kristen tersebut sehingga Sekolah Minggu dan Katekisasi tak diatur dalam UU tersebut. Poin Sekolah Minggu dan Katekisasi diganti dengan pendidikan sekolah-sekolah Kristen yang didirikan gereja dan dikelola di yayasan. Lagipula pendidikan keagamaan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Model pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi tak bisa disetarakan dengan pesantren. Sebab, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan.

"Yang penting jangan menyamakan Sekolah Minggu dengan sekolah seperti di sekolahan umum. Sekolah Minggu dan katekisasi itu urusan gereja," sebutnya lagi. Pengurus KAKR GBKP setuju dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan negara tak boleh mengatur masalah agama. (A13/l)
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru