Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 15 Juni 2025
Buddha Dhamma

Bathin Tidak Ikut Sakit

Oleh Madyamiko Gunarko Hartoyo
Redaksi - Sabtu, 22 Februari 2020 12:31 WIB
1.140 view
Bathin Tidak Ikut Sakit
medcom.id
Ilustrasi
Segala jenis rasa sakit yang dialami tubuh yang dapat dikarenakan infeksi, tertusuk, terluka, terkena penyakit, dan kerapuhan akibat usia tua, seluruhnya merupakan penderitaan jasmani yang sangat sulit dihindari. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam kebenaran yang disampaikan oleh Sang Buddha dalam sutta berikut
Semua makhluk memiliki tubuh,
dan karena tubuh itulah
mereka harus mengalami penderitaan jasmani "
(Buddha-Samyutta Nikaya .22.1)
Namun banyak di antara kita yang menganggap tubuh, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran indra adalah 'MILIKKU', sehingga ketika semuanya itu mengalami perubahan termasuk badan terserang penyakit maka kesedihan, rasa sakit, kekecewaan, ketidakpuasan, ratap tangis dan keputusasaan muncul pada diri mereka. Inilah yang membuat batin ikut menderita saat jasmani kita sakit. Kemelekatan terhadap perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran indra inilah yang menyebabkan penderitaan batin.
Penyakit adalah pengingat kerapuhan manusia. Kita perlu memahami fakta bahwa tubuh, seperti halnya semua fenomena lainnya, selalu dalam keadaan perubahan, penurunan, dan dapat memburuk, kesehatan fisik tidak dapat bertahan lama. Tidak mungkin bagi tubuh untuk menjadi sempurna sehat dan bebas dari semua penyakit di setiap saat. Yang sangat penting dipahami adalah janganlah bathin kita ikut sakit saat jasmani kita menjadi sakit karena akan memperburuk keadaan.
Memahami pentingnya agar bathin tidak sakit tentunya menjadi suatu hal berharga yang perlu kita ketahui. Mengutip sebuah cerita yang disampaikan Bhante Atthapiyo yang sungguh luar biasa, saat beliau bertemu dengan seorang ibu di rumah sakit dan sedang mengidap kanker stadium empat. Sungguh di luar dugaan ibu tersebut tidak "drop" keadaannya seperti penderita kanker pada umumnya terutama pada stadium empat.
Awalnya Bhante datang untuk memberi wejangan namun sikap sang ibu menyambut dengan senang dan memberikan air untuk Bhante minum membuat beliau bertanya-tanya dalam hati bagaimana bisa keduluan sang ibu. Seolah sang ibu berkata dalam perilakunya bahwa 'Jasmani bisa sakit tapi batin tidak boleh ikut sakit'. Wejangan yang sebenarnya ingin disampaikan Bhante kepada sang ibu.
Si ibu bercerita dalam kondisinya ini ia masih terus berbuat baik kepada siapapun. Ketika ada sesuatu lebih, ibu itu tak segan untuk mendanakan. Saat dia tidak punya apapun ketika sakit, si ibu masih mendanakan dan mengucapkan terima kasih kepada ibu tukang pel tersebut. Bagi dia yang perlu berterimakasih karena diberi kesempatan untuk berbuat bajik. Walaupun sang suami tidak memahami Buddha Dharma namun si Ibu mampu perlahan mendorongnnya ikut berkontribusi melakukan kebajikan berupa Fang shen di rumah sakit. Sang suamilah yang diminta membelikan burung dan istrinya melepasnya lewat jendela rumah sakit . Sang suami rela membawakan burung itu dengan meletakkannya di balik pakaian.
Di kala senggang, dirinya membaca Paritta dan sangat memahami apa yang ditulis dalam Paritta. Si ibu bisa menerima mengalami sakit dan juga datangnya kematian karena seseorang hanyalah pewaris karmanya sendiri. Kebanyakan orang pandai menghapal Sutta, pandai memahami teori, tapi jarang yang bisa dan mau praktik. Tapi bagi ibu yang sakit ini paham akan esensi kehidupan dan memahami Buddha Dhamma, serta luar biasa mempraktikannya walau dengan fisik yang sakit namun raut wajah tetap bahagia karena batin yang sehat.
Pada akhirnya ibu ini pun meninggal. Namun di balik kematianya, masih ada cerita luar biasa yang indah. Ketika sudah dekat saatnya akan pergi, istrinya meminta si suami untuk bersama membacakan Paritta. Apapun yang terjadi, si istri meminta kepada suaminya untuk tidak berhenti. Si ibu yang sudah mulai lemah berhenti dan si suami pun berhenti sejenak, namun si istri meminta suaminya untuk melanjutkan membaca apapun yang terjadi. Saat terakhir si istri memegang tangan sang suami dan berkata untuk terakhir kalinya, "Para Dewa sudah datang jemput aku, aku sudah mau pergi. Ndak perlu sedih, aku yakin kita bisa ketemu lagi, asal kamu rajin-rajin belajar Dhamma, berbuat baik." Kebajikan terbaik terakhir yang dilakukannya agar suaminya tetap berbuat kebajikan.
Kita boleh sakit, kita pasti tua, tapi ketika kita boleh hanya menerima kenyataan hidup, dan terus berbuat baik, fisik kita mungkin kacau, tapi berbahagialah batin kita tidak ikut sakit.Agar bathin kita menjadi sehat, pertama perlu kita lakukan adalah mengembangkan pandangan yang benar tentang dunia dan diri kita sendiri, yaitu penerimaan yang realistis dari tiga sifat keberadaan: ketidakkekalan, ketidakpuasan dan penderitaan. (c)


SHARE:
komentar
beritaTerbaru