Usai Diberitakan SIB, Pasar Onan Sibuluan Dibersihkan
Tapteng(harianSIB.com)Puluhan petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tapanuli Tengah dikerahkan untuk membersihkan lumpur sisa mater
Setiap musim hujan ekstrem tiba, kabar duka tentang banjir dan longsor seolah menjadi tamu rutin yang tak diundang. Ruang publik kita dipenuhi jeritan korban dan data kerugian. Kita terbiasa menyebutnya sebagai "bencana alam", berduka sejenak, lalu melupakannya hingga musim hujan berikutnya datang.
Padahal, maraknya bencana hidrometeorologi? banjir, longsor, hingga kekeringan, bukan semata amukan iklim. Bencana ini adalah buah dari pilihan politik atas tata kelola tanah. Di tengah situasi inilah, sejarah Tapanuli dan pemikiran visioner Mangaradja Hezekiel (MH) Manullang menemukan relevansinya yang paling mendesak.

Baca Juga:
Lebih dari seabad lalu, Manullang telah lantang memperingatkan bahaya sistem perkebunan monokultur bagi tanah dan kehidupan rakyat. Apa yang ia lawan kala itu bukan sekadar kolonialisme Belanda, melainkan logika ekstraktif, sebuah pola pikir mengeruk keuntungan, yang hari ini menjelma kembali dalam bentuk ekspansi kelapa sawit yang tak terkendali.
Perkebunan dan Rusaknya Siklus Air
Perkebunan monokultur, baik tembakau/karet di era kolonial maupun sawit di masa kini, bekerja dengan modus operandi yang serupa, membabat hutan, meratakan lanskap alami, dan mengubah tanah yang hidup menjadi sekadar "mesin" produksi tunggal. Dampaknya tidak hanya meluluhlantakkan tatanan sosial, tetapi juga menghancurkan keseimbangan ekologis.
Ketika hutan alam digantikan oleh hamparan sawit, kemampuan tanah menyerap air hujan (infiltrasi) merosot drastis. Akibatnya, air hujan yang seharusnya tersimpan di dalam tanah justru meluncur deras di permukaan (run-off). Sungai meluap lebih cepat, tanah menjadi labil dan longsor, sementara saat kemarau, wilayah yang sama justru mengalami krisis air.
Inilah definisi sebenarnya dari bencana hidrometeorologi, yakni pertemuan fatal antara iklim ekstrem dan tata guna lahan yang keliru.
Manullang memahami hubungan ini secara intuitif jauh sebelum istilah "ekologi" populer. Baginya, tanah bukan sekadar aset produksi, melainkan penyangga kehidupan. Ketika fungsi alami tanah diamputasi, bencana sosial dan ekologis hanyalah bom waktu yang menunggu ledakan.
Spiritualitas Tanah dan Etika Ekologi
Melalui Hatopan Kristen Batak (HKB), Manullang mengajukan tesis yang radikal pada zamannya, iman Kristen harus berpihak pada perlindungan tanah rakyat. Ia menolak dikotomi yang memisahkan agama dari urusan "duniawi" seperti agraria.
Hari ini, gagasan Manullang menjadi landasan etis yang kuat di tengah krisis iklim. Melawan perusakan lingkungan bukan lagi sekadar soal teknis mitigasi bencana, tetapi persoalan moral.
Ketika ekspansi sawit merusak hutan tangkapan air dan memicu banjir yang menenggelamkan desa-desa, itu bukan sekadar masalah perizinan administratif. Itu adalah pelanggaran terhadap keadilan antargenerasi dan dosa ekologis.
Sawit sebagai Wajah Baru Kolonialisme
Narasi yang kerap didengungkan adalah bahwa sawit merupakan tulang punggung ekonomi nasional. Argumen ini sejatinya mengulang logika kolonial usang: pengorbanan wilayah demi pertumbuhan ekonomi makro. Bedanya, jika dulu pelakunya adalah pemerintah Hindia Belanda, kini aktornya adalah negara dan korporasi bangsa sendiri.
Di banyak wilayah, termasuk di Sumatera dan Kalimantan, sawit hadir dengan menggusur tanah adat, meminggirkan petani lokal, dan memperparah risiko bencana. Polanya persis seperti yang ditentang mati-matian oleh Manullang: rakyat menjadi buruh atau korban di tanah leluhurnya sendiri, sementara keuntungan mengalir deras ke pusat kekuasaan dan pemilik modal.
Politik anti-perkebunan Manullang harus dibaca ulang sebagai peringatan dini (early warning system) terhadap krisis iklim. Ia menolak sistem yang memutus relasi sakral manusia dengan alam dan menyerahkannya bulat-bulat pada logika pasar.
Nasionalisme Ekologis
Nasionalisme kerap dipersempit maknanya hanya sebatas kedaulatan politik dan ekonomi. Padahal, tanpa keselamatan ekologis, kedaulatan negara menjadi rapuh. Banjir bandang, longsor yang menimbun jalan, dan krisis air bersih adalah bukti nyata bahwa negara sedang kehilangan kendali atas daya dukung wilayahnya sendiri.
Manullang secara tersirat menawarkan bentuk nasionalisme lain, yakni nasionalisme wilayah, yang mengutamakan keselamatan tanah dan rakyat di atas segalanya. Dalam perspektif ini, menolak sawit di daerah rawan bencana atau kawasan hutan lindung bukanlah sikap anti-pembangunan, melainkan tindakan patriotik untuk menyelamatkan Tanah Air dalam arti harfiah.
Mengingat untuk Bertindak
Menghubungkan perjuangan MH Manullang dengan krisis sawit dan bencana hidrometeorologi saat ini bukanlah upaya meromantisasi masa lalu. Ini adalah ikhtiar untuk belajar dari sejarah yang sering kita abaikan. Kita telah lama diperingatkan bahwa perkebunan skala besar membawa risiko ekologis dan sosial yang mahal.
Jika hari ini kita terus melabeli banjir dan longsor di Tapanuli hanya sebagai "takdir" atau "bencana alam" semata, kita sedang menutup mata terhadap akar masalahnya. Sejarah Tapanuli mengajarkan satu hukum besi: tanah yang dirampas dan dirusak keseimbangannya akan menuntut balas, melalui bencana.
Pertanyaan besarnya kini bukan lagi apakah kita membutuhkan pembangunan, melainkan pembangunan macam apa yang ingin kita wariskan? Apakah pembangunan yang memperkaya segelintir orang dengan risiko bencana permanen, atau pembangunan yang menjaga martabat tanah dan air demi kelangsungan hidup anak cucu kita? (Penulis adalah Wakil Ketua DPD PIKI Sumut, Ketua Badan Pembina Yayasan Palito Toba, dan Badan Pendiri PubliGo, Pusat Studi Kebijakan Publik dan Tata Kelola)
Tapteng(harianSIB.com)Puluhan petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tapanuli Tengah dikerahkan untuk membersihkan lumpur sisa mater
Sibolga(harianSIB.com)Polres Sibolga bersama Pemerintah Kota Sibolga dan para pemangku kepentingan terkait terus mengevakuasi korban dan pem
Simalungun(harianSIB.com)Kapolres Simalungun AKBP Marganda Aritonang inspeksi mendadak (sidak) ke pos pengamanan (Pospam) Natal 2025 dan Tah
Medan(harianSIB.com)Mayoritas bursa saham Asia pada perdagangan Selasa (23/12/2025), bergerak menguat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pa
Jakarta(harianSIB.com)Menjelang perayaan Natal 2025, Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat/IOH) kembali menghadirkan program Indosat Berbagi Ka
Aeknatas(harianSIB.com)PT Socfindo Kebun Aek Pamienke di Kecamatan Aeknatas, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), menggelar khitanan massal
Medan(harianSIB.com)Pengesahan Rancangan Perubahan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Ranperda KTR) Kota Medan dipastikan ditunda. Paniti
(harianSIB.com)Setiap musim hujan ekstrem tiba, kabar duka tentang banjir dan longsor seolah menjadi tamu rutin yang tak diundang. Ruang pub
Rantauprapat(harianSIB.com)Jemaat Kristen Indonesia (JKI) Gospel Community Church (GCC) Rantauprapat merayakan Natal dengan penuh sukacita d
Jakarta (harianSIB.com)Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)
Medan (harianSIB.com)Gereja HKBP Resort Ampera merayakan natal AmaIna (kaum bapak dan ibu), Senin (22/12/2025) di gereja HKBP Ampera Jalan
Medan (harianSIB.com)Kejati Sumut menahan satu lagi tersangka yaitu, OAK (Oggy Achmad Kosasih), Senin (22/12/2025), setelah ditetapkan sebag