Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 02 November 2025
CURHAT

Melawan Takut

Bolqiah Habibi - SMAN 2 Rantau Selatan
Redaksi - Minggu, 10 Mei 2020 22:06 WIB
301 view
Melawan Takut
liputan6
Ilustrasi
Sepak bola? Olahraga terpopuler di dunia tapi buatku tidak familiar. Jika boleh, jangan ada yang namanya permainan seperti itu.

Rasa itu muncul sejak masih kecil. Ketika itu asyik bermain dengan rekan sebaya. Entah kenapa, tiba-tiba bolanya menghantam wajahku. Selain membuat aku jatuh, pandanganku pun jadi hilang. Mataku dipenuhi pasir yang membuatku hampir kelihatan penglihatan.

Kejadian yang sangat membekas membuatku takut pada bola. Apalagi ayah, ibu dan kakak plus abang selalu memorteksi aku dari bola.

Beranjak tambah usia, ketika kawan-kawan mulai akrab dengan bola, aku pun berdamai dengan persoalan terdahulu. Tepat di kelas VI SD, aku kembali main bola. Mula-mula takut tapi karena sudah punya bakat lari, aku cepat menyesuaikan diri.

Ayah, khususnya ibu, terus mewanti-wanti bahkan menyarankanku untuk menyukai jenis permainan lain. Tenis lapangan, misalnya. Atau, tinju. Tetapi yang dekat denganku adalah bola kaki.

Di dekat rumah, ada lapangan bola kaki. Di sekolah pun sama. Kondisi itu membuatku gampang bermain. Apalagi ada sekolah sepak bola.

Saat bergabung, aku dipercaya menjadi penyerang. Aneh, pikirku. Lama tidak bermain kok diberi tanggung jawab penting. Alasan pelatih, modal kemahiran lari yang kencang dan pandai bersiasat menggiring bola.

Ketika cerita sama ayah, ibu yang ketakutan. Ia khawatir kejadian saat kecil terulang. Karena aku ngotot, ia mewanti-wanti agar aku ekstra hati-hati. Menurutnya, lebih baik mengalah daripada terjadi insiden. Saran itu kuaminkan, tapi di dalam hati aku bilang tidak. Seorang penyerang harus berani menghalau rintangan hingga menyarangkan bola ke gawang lawan.

Ketika bertanding, aku menawarkan pada ayah-ibu untuk nonton tapi mereka selalu menolak. Segudang alasan tapi aku tahu karena keduanya khawatir atas aku. Terus terang, aku selalu kecil hati bila ada pertandingan, cuma permainanku yang tidak dilihat ayah-ibuku. Kawan yang lain dalam tim, satu keluarga menyaksikan.

Meskipun demikian, aku senang karena seusai pertandingan, ayah-ibu tekun mendengar ceritaku mengenai pertandingan. Tetapi, kali ini aku ngotot agar ayah-ibu menonton. Soalnya, timku masuk final.

Ayah mau tapi ibu yang khawatir. Ia takut aku bagaimana-bagaimana di lapangan. Aku pastikan, aku akan ekstra hati-hati dan bertambah semangat bila ibu berada di pinggir lapangan memberi suport.

Benar. Kesebelasan kami menag. Tahun 2017 adalah awal kejayaanku di lapangan hijau. (d)
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru