Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 03 November 2025

Membayar Utang Kepada NU

Redaksi - Senin, 08 Februari 2021 10:39 WIB
555 view
Membayar Utang Kepada NU
Internet
Logo Nahdlatul Ulama
Ketua Umum PGI Pdt Gomar Gultom menyatakan, bangsa kita berutang besar kepada Nahdlatul Ulama (NU) atas peran signifikannya menjaga Indonesia sebagai rumah bersama berdasarkan prinsip-prinsip toleransi (tasamuh) dan persaudaraan (ukhuwah). Prinsip-prinsip ini telah turut membentuk karakter ke-Indonesia-an yang guyub dan toleran, sejalan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Benar kata Ketum PGI, NU selalu hadir ketika bangsa ini diguncang permasalahan intoleransi dan radikalisme. Organisasi Islam yang disebut-sebut terbesar di dunia ini kerap menunjukkan jati dirinya sebagai garda terdepan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Meski banyak yang menganggapnya "aneh" dan selalu berseberangan dengan pandangan konsevatif, NU tidak peduli dan tetap menjalankan prinsipnya.

Ingat ketika pemuda Banser NU sebagai pelopor menjaga umat Kristen ketika menjalankan ibadah Natal di gereja-gereja. Saat itu aksi bom marak menghantui rumah ibadah. Setiap perayaan Natal, umat Kristen terutama di Mojokerto, selalu mengenang sosok Riyanto, pemuda Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) yang tewas akibat mengevakuasi bom yang diletakkan seseorang yang tak dikenal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto.

Saat itu, Riyanto memeluk bom tersebut dan berlari ke luar dari gereja. Ledakan terjadi dan para jemaaat selamat. Sementara tubuh Riyanto, hancur berkeping-keping. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2000, namun kepahlawanan Riyanto tetap membekas sampai sekarang. Riyanto dianggap pahlawan karena berkat keberaniannya, ratusan umat Kristen yang sedang mengikuti Misa Natal selamat dari upaya pemboman gereja tersebut.

Peristiwa sangat heroik ini seharusnya menjadi acuan bahwa kita harus saling mengasihi tanpa memandang perbedaan.
Selayaknya juga Riyanto resmi dianugrahi sebagai pahlawan kemanusiaan dan peristiwa itu menjadi peringatan hari kemanusiaan.
Perlu diketahui Nahdlatul Ulama (NU) artinya kebangkitan ulama. Organisasi ini didirikan para ulama pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H di Kampung Kertopaten Surabaya, Jawa Timur.

NU sebagai organisasi keagamaan tidak bisa hanya dilihat dari sudut formal sejak kelahirannya. Karena jauh sebelum lahir dalam bentuk jam’iyyah, NU sudah ada dan berwujud jama’ah (komuniti) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik sendiri.

Berdirinya NU terkait erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu.
Pada 1924 di Arab Saudi, terjadi arus pembaharuan oleh Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni, ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi.

Pada 1924 juga di Indonesia, Kiai Haji (KH) Wahab Chasbullah mulai memberikan gagasannya pada KH Hasyim Asyari untuk perlunya mendirikan NU. Sampai dua tahun kemudian, pada 1926 baru diizinkan untuk mengumpulkan para ulama guna mendirikan NU.

Berdirinya NU tak bisa dilepaskan dari upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja).
Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-keputusan para ulama sebelumnya) dan Qiyas atau kasus-kasus yang ada dalam cerita Al-Qur’an dan hadis.

Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Dilansir laman nu.or.id, masalah keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh muslim di dunia yang dianggap bid’ah.

Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan.

Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah.
Choirul Anam (2010) mencatat, KH Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI) akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.

Kiai Wahab akhirnya membentuk panitia tersendiri yang dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926, yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Mereka mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke muktamar di Mekkah. Para ulama sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.

Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi?
Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.

Peristiwa sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespon kondisi rakyat yang sedang terjajah, mengalami problem keagamaan, dan problem sosial di Tanah Air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Utang bangsa ini terhadap NU tidak bisa dibayar dengan materi. Tetapi dibayar dengan mencontoh dan meneladani sikap-sikap terpuji yang dilakukannya secara nyata. Jauhi sikap intoleransi dan radikalisme, hargai perbedaan dan keberagaman, karena warna-warni itu indah, apalagi dibaluti dengan rasa kasih sayang. (***)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru