Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 02 November 2025

Dilema Impor Beras

Redaksi - Rabu, 17 Maret 2021 11:00 WIB
1.427 view
Dilema Impor Beras
Edi Wahyono
Foto: Ilustrasi
Pengumuman pemerintah untuk mengimpor beras 1 juta ton pada awal tahun ini menjadi pembahasan menarik. Ada dua pendapat yang muncul. Pertama, pemerintah menyebutkan bahwa impor itu untuk mengamankan stok beras nasional. Perincian impor itu, 500.000 ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500.000 ton lagi sesuai kebutuhan Bulog.

Pendapat kedua adalah dari kalangan masyarakat yang disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR G Budisatrio Djiwandono yang menginginkan agar pemerintah mengkaji ulang rencana impor beras tersebut. Alasannya, rencana impor beras di masa panen raya tahun 2021 (Januari-April) sudah pasti akan menekan harga gabah di berbagai daerah. Akibatnya, petani juga yang merasakan akibatnya.

Di satu sisi pemerintah memang berkewajiban mengamankan ketersediaan beras sebagai kebutuhan pokok 271 juta lebih penduduk. Jika rakyat kesulitan mendapatkan beras atau harga beras melambung di pasaran, maka pemerintah juga yang disalahkan. Bahkan jika persediaan beras sampai terancam, maka akan mengganggu stabilitas nasional yang merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah.

Namun berdasarkan pengalaman pada pemerintahan sebelumnya dan pada periode pertama pemerintahan Jokowi, impor beras ini menjadi salah satu ajang untuk mendapatkan keuntungan. Jika dihitung-hitung, maka anggaran untuk mengimpor beras sampai 1 juta ton (1 miliar Kg) mencapai triliunan rupiah. Anggaran tersebut sangat menggiurkan, sehingga sangat rawan disalahgunakan (korupsi) melalui komisi dari impor tersebut.

Selain merugikan keuangan negara, impor beras tersebut tentu saja akan memengaruhi persediaan beras di dalam negeri. Jika diimpor di masa paceklik, tidak menjadi masalah. Tetapi jika diimpor di masa panen raya, maka pemerintah bersama petani akan membanjiri beras di dalam negeri yang berdampak harga gabah (beras) dan pendapatan petani akan turun.

Dalam kaitan ini, sebelum melakukan impor beras maka sebaiknya dilakukan perhitungan dan potensi produksi secara akurat. Pelaporan kondisi pertanaman padi di daerah harus akurat, sehingga tidak sampai mengganggu stabilitas nasional dan sekaligus tidak merugikan petani.

Memang jangan terburu-buru dulu menuding ada "permainan" pemerintah, khususnya kementerian yang menangani impor ini. Sesuai data Bulog yang diolah Badan Ketahanan Pangan (BKP), stok beras Bulog saat ini, khususnya Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sudah jauh dari cukup, yaitu sebesar 843.647 ton. Padahal seharusnya CBP itu minimal 1,5 juta ton. Sehingga untuk menjaga CBP aman, maka pemerintah merencanakan impor beras.

Sementara data BPS, potensi produksi beras pada panen raya tahun 2021 (Januari-April) ini diperkirakan mencapai 14,54 juta ton, mengalami kenaikan 3,08 juta ton (26,84%) dibanding tahun 2020. Jika ini terealisasi, maka untuk memenuhi CBP tersebut cukup dengan menyerap produksi dalam negeri. Melihat angka-angka tersebut, maka tidak kuat alasan pemerintah untuk mengimpor beras.

Selain itu, rencana impor beras tersebut juga sangat berdampak pada harga gabah petani di sejumlah daerah yang semakin menurun, bahkan sudah berada di bawah HPP (Harga Patokan Perintah). Para mafia perdagangan sudah pasti memanfaatkan kesempatan ini meraup keuntungan dengan melemahkan posisi tawar petani yang akan panen raya pada bulan-bulan ini.

Bagaimana mungkin petani sanggup mempertahankan harga gabahnya di posisi HPP jika pasokan beras impor akan masuk. Padahal panen raya ini merupakan kesempatan bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Melihat urgensinya, persediaan beras di dalam negeri dan juga urgensinya kepentingan petani, maka sebaiknya Kementerian Perdagangan dan pihak Bulog duduk bersama dengan Kementerian Pertanian untuk memastikan data produksi beras di dalam negeri, sehingga rencana impor beras tidak sampai merugikan petani yang selama ini sudah kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi.

Petani jangan sampai rugi dua kali, yaitu saat membeli pupuk bersubsidi harganya selalu di atas HET (Harga Eceran Tertinggi), sementara untuk menjual beras (gabah) selalu di bawah HPP (Harga Patokan Pemerintah). Padahal yang menetapkan dan mengawasi HET dan HPP adalah pemerintah juga, namun yang selalu terjadi adalah petani "pekerja mulia dan luhur" itu selalu di posisi yang lemah. (*)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru