Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 03 November 2025

SK Menhut 44Tahun 2005

- Kamis, 06 Februari 2014 11:21 WIB
517 view
SK Menhut 44Tahun 2005
SURAT Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penetapan kawasan hutan merupakan wujud dari arogansi kekuasaan yang dibungkus di balik produk hukum. Produk hukum dalam bentuk UU, PP, Inpres, SK Menteri sampai Perda banyak yang melahirkan kontroversi, bahkan cenderung menindas masyarakat. Logikanya, desain UU yang dibuat untuk mengatur masyarakat bertujuan menciptakan stabilitas atau kepastian hukum. Kepastian hukum sangat penting dalam rangka membuat pembangunan makin fokus dan terarah.

Tentu pembangunan bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state). Pembangunan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Untuk mendukung pembangunan maka dibuatlah kebijakan dalam bentuk SK Menteri misalnya sebagai peraturan teknis dalam skala yang lebih kecil.

Jelasnya lagi, latar belakang peraturan ataupun apapun itu namanya punya tujuan utama, yaitu menciptakan kepastian hukum supaya masyarakat bisa beraktivitas dengan tenang. SK Menhut Nomor 44 Tahun 2005 justru jadi akar persoalan di Kabupaten Toba Samosir dan kabupaten lainnya. Ribuan masyarakat demonstrasi ke kantor DPRD Tobasa dengan satu aspirasi, cabut SK Menhut 44 Tahun 2005 karena SK Menhut 44 hanya akan melahirkan arogansi negara kepada masyarakat.

Setelah di analisa lebih dalam, dalam SK Menhut 44 itu banyak tanah masyarakat, termasuk berbagai gedung perkantoran, sekolah, sampai berbagai usaha masyarakat Tobasa yang masuk wilayah hutan negara. Sementara dalam hukum negara ini dikenal hak ulayat, tanah adat sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal.

Masuknya tanah masyarakat dalam pemetaan SK Menhut 44 tentu sangat merugikan. Masalahnya di Tobasa aktivitas masyarakat bukan merusak hutan. Pengusahaan hutan oleh tanah hanya sebatas bagaimana bisa bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan dasar. Masuknya hutan masyarakat jadi hutan negara karena klaim SK Menhut 44 tentu sangat tidak logis.

Ini harus ditolak karena masyarakat di Tobasa sangat banyak tergantung pada alam sebagai pendukung aktivitas dalam menopang kehidupannya. Apa yang disampaikan masyarakat ke kantor DPRD Tobasa dan Pemkab Tobasa dengan dukungan pemerintah sudah sangat tepat.

DPRD dan Pemkab Tobasa saatnya bersatu supaya pemerintah melakukan revisi, bahkan kalau bisa mencabut SK Menhut 44 karena ini merugikan masyarakat. Dalam teori negara demokrasi pemilik kedaulatan adalah rakyat. Pemerintah adalah abdi masyarakat yang harus melayani masyarakat dengan baik.

Berangkat dari pola pikir ini saja tidak ada alasan pemerintah tidak mencabut SK Menhut  44 itu. Munculnya instabilitas hukum dan berbagai gejolak sosial disebabkan oleh banyaknya peraturan yang dipaksakan oleh negara tanpa negara berniat baik menampung aspirasi masyarakat.

Untuk itu, dalam membuat kebijakan, apakah UU, PP, Kepres, SK Menteri dan Perda saatnya melibatkan masyarakat karena tujuan peraturan itu adalah bagaimana supaya muncul ketenangan dalam masyarakat. Peraturan bukan membuat keributan yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

 Semoga aspirasi masyarakat di Tobasa dan juga daerah Humbahas, Taput, Samosir supaya SK Menhut 44 Tahun 2005 segera dicabut bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat. Departemen Kehutanan harus berpikir logis bahwa masyarakat Batak Toba sudah ribuan tahun mendiami wilayah eks Tapanuli Utara ini.

Segala kearifan lokal yang ada di eks Tapanuli Utara sebagai basis masyarakat Batak Toba harus dilestarikan. Mendekati masyarakat Batak Toba sangatlah mudah karena punya nilai tradisi luhur yang sangat tinggi. Tinggal lagi bagaimana Dephut RI membangun komunikasi dengan masyarakat Batak Toba agar pemeliharaan hutan bisa berjalan dengan baik tanpa harus merugikan hak masyarakat di Tobasa dan daerah lainnya.  (#)
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru