Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 03 November 2025

Nyapres Melalui Iklan

- Senin, 17 Februari 2014 10:19 WIB
464 view
Nyapres Melalui Iklan
Sib/int
Ilustrasi
ADANYA iklan Capres yang disaksikan  masyarakat melalui berbagai  televisi menjadi  sebuah preseden buruk dalam demokrasi kita. Logika hukum yang kita pakai adalah, Pilpres dilaksanakan setelah selesai pemilihan legislatif. Hasil pemilihan legislatif akan menentukan siapa yang jadi Capres sebagaimana amanat UU Pilpres. Bahkan masyarakat yang awam politik sekalipun sudah paham bahwa Capres yang bisa maju di Pilpres 2014 adalah Parpol yang meraih suara minimal 20 persen (presiden threshold). Syarat minimal ini harus dipenuhi maka Parpol bisa memajukan siapa yang jadi Capresnya.

Ini tidak, bahkan beberapa oknum sudah mengampanyekan diri di televisi secara jorjoran dengan berbagai ragam visi dan misi membangun Indonesia yang lebih baik. Apakah ini merupakan bagian dari pendidikan politik (political education) rakyat? Sementara dalam UU ada waktu kampanye. Apa yang dilakukan oleh semua Capres di televisi merupakan bentuk pelanggaran. Masalahnya, mengapa hal ini bisa terjadi dan mengapa tidak ada upaya untuk menindak bentuk curi start kampanye?

Kita tidak tahu mengapa dalam setiap event politik dalam Pemilu legislatif dan presiden banyak pelanggaran yang secara kasat mata kita lihat. Curi start kampanye sering jadi fenomena politik yang tidak mendidik bagi masyarakat. Sementara demokrasi bisa tegak menurut pendapat para ahli politik, bahkan kalau kita lihat kemajuan demokrasi di belahan dunia mananpun, prasyarat utama penegakan dan pelembagaan demokrasi, serta konsolidasi demokrasi berkelanjutan harus disertai dengan penegakan hukum.

Juan J Linz dan Alfred Sthepan sudah mengingatkan negara manapun bahwa konsolidasi demokrasi modern bisa berhasil jika diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement). Tatkala penegakan hukum sangat lemah, maka demokrasi tidak akan mampu menuju demokrasi yang substansial. Demokrasi yang kita jalankan saat ini adalah demokrasi prosedural. Aspek teknis yang lebih ditonjolkan kepada publik. Sementara tujuan dan substansi demokrasi itu adalah menciptakan kemakmuran bersama (bonum commune).

Kemakmuran bersama bisa terwujud apabila pemerintahan yang dijalankan oleh aktor demokrasi mampu menegakkan aturan bernegara yang baik. Saat ini publik melihat bagaimana semua capres melalui iklan di media cetak dan elektronik terus menggebu-gebu dengan satu pesan kepada publik untuk memilihnya. Sementara secara regulasi belum tentu si capres bisa jadi capres dalam pilpres 2014.

Kembali kepada penegakan hukum tadi, mengapa KPU, Bawaslu, dan juga KPI tidak menindak tegas Capres, Caleg yang selalu curi start? Bukankah curi start merupakan pelanggaran ? Sementara Pileg dan Pilres adalah sistem politik yang mengantar Capres dan Caleg ke singgasana kekuasaan. Jika cara memperoleh kekuasaan tidak jujur (sesuai aturan) maka praktik penyalahgunaan kekuasaan (abused of power) akan rentan terjadi. Pada akhirnya pemerintahan yang korup akan terus muncul. Sementara tugas kita bersama telah kita ikrarkan, memutus mata rantai korupsi yang makin subur terakhir ini.

Kita harapkan semua Capres, jangan lagi nyapres melalui iklan. Ikuti saja aturan yang ada dengan demikian inilah pendidikan politik yang sesungguhnya. Bagaimana menjadi Presiden mau menegakkan aturan jika sedari awal pun sudah sarat dengan berbagai kesalahan.

Sementara demokrasi adalah permasalahan taat pada hukum. Semakin taat pada hukum, maka proses pemilihan presiden dan legislatif akan semakin bagus. Kalau elite politik saja tidak siap sama aturan, siapa lagi yang akan memberi contoh yang baik kepada masyarakat kita dalam hal menaati aturan? Ingat, Juan J Linz dan Alfred Sthepan telah mengingatkan semua negara yang menganut paham demokrasi, prasyarat mutlak terlembaganya demokrasi apabila negara itu punya supremasi hukum yang bagus. Bagaimana dengan capres kita yang nyapres melalui iklan? (#) 
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru