Jakarta (SIB)- Sejumlah organisasi masyarakat akan mengajukan gugatan terhadap UU Ormas yang baru disahkan DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Partai Demokrat memilih tak mencampuri urusan gugat-menggugat tersebut.
Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat Agus Hermanto menyebut, Demokrat sebagai fraksi di DPR tak mungkin mengajukan uji materi UU Ormas ke MK. Alasannya jelas, Demokrat merupakan salah satu parpol yang ikut mensahkan sehingga tak punya legal standing.
"Gugatan ke MK, JR (judicial review), adalah hak warga negara, tentunya dipersilakan. Kalau PD kan subjek kemarin, ikut mnentukan. Mosok sebagai subjek setelah ditetapkan, kita JR?" ujar Agus di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (27/10).
Agus juga menyentil parpol yang hendak JR. Sebagai subjek yang menentukan UU Ormas, parpol jika mau uji materi suatu UU dianggapnya kurang tepat. Sejauh ini, baru Gerindra yang siap mengajukan gugatan ke MK.
"Kalau untuk parpol sebagai subjek. Yang paling tepat ya rakyat Indonesia ataupun ormas atau hal berkaitan dengan itu yang ajukan ke MK," sebut dia.
"Kalau sebagai subjek, rasanya kurang pas. Kalau yang ingin mengajukan (masyarakat), tak melanggar aturan," imbuh Agus.
Desak Revisi
Agus Hermanto juga mengatakan, Partai Demokrat mendesak agar revisi UU Ormas segera dilakukan. Beberapa poin, seperti hukuman untuk ormas yang terbukti bertentangan dengan Pancasila, disoroti partai berlambang Mercy ini.
"Poin yang harus direvisi misalnya dalam menentukan sanksi daripada ormas atau pelanggaran daripada ormas. Kita ketahui, ormas ini sebagai stakeholder, mereka juga mempunyai, atau beliau-beliau ini punya tanggung jawab untuk pembangunan di Indonesia, untuk memperkuat kehidupan bangsa dan bernegara," ujar Agus.
Agus juga menyoroti soal pemberian sanksi kepada ormas. Menurut Agus, pemberian sanksi tidak bisa hanya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM saja.
"Sanksi itu tidak bisa ditentukan ormas ini melanggar sanksi dan sebagainya hanya ditentukan pemerintah, dalam hal ini Kemendagri dan Kemenkum HAM. Ini tentunya harus melalui proses pengadilan, peradilan, sehingga kita sesuai asas-asas daripada HAM," terang Agus.
Dalam UU ormas, Pasal 62 mengatur tentang pemberian sanksi. Pasal 62 berbunyi:
Pasal 62
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (l) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Soal besarnya sanksi juga disoroti Agus. Demokrat, kata Agus, tetap berkeinginan hal ini direvisi.
"Kecuali itu, besarnya sanksi. Kan misal satu ormas kena sanksi, itu sampai anggotanya kena sanksi. Kita harus dilaksanakan peradilan yang mengacu KUHP, KUHAP dan sebagainya," sebut Agus.
"Yang jelas, dengan proses yang transparan, akuntabel. Yang melaksanakan pastinya pengadilan," imbuh dia.
Agus punya alasan kuat mengapa poin-poin di atas perlu diperbaiki dalam UU Ormas yang baru disahkan berangkat dari Perppu 2/2017 itu. Menurutnya, negara harus adil kepada semua elemen anak bangsa. (detikcom/d)