Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 09 Juli 2025

Eksistensi dan Fungsi MPR Saat Ini Tidak Berjalan dengan Baik

Redaksi - Jumat, 21 Januari 2022 11:07 WIB
441 view
Eksistensi dan Fungsi MPR Saat Ini Tidak Berjalan dengan Baik
(KOMPAS/PRIYOMBODO)
Ilustrasi : Suasana gedung DPR RI
Jakarta (SIB)
Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai eksistensi dan fungsi lembaga Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) RI saat ini tidak berjalan dengan baik.

Akibatnya, Pimpinan MPR sebanyak 10 orang mencari kesibukannya masing-masing, karena memang tidak ada kegiatan yang sangat dibutuhkan apalagi memeras tenaga dan pemikiran.

"Semua parpol menjadi pimpinan MPR, dan sekarang pimpinan MPR mencari kesibukannya masing-masing," kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah dalam Gelora Talks bertajuk 'Menyoal Eksistensi Lembaga MPR: Masih Relevankah Dipertahankan?', Rabu (19/1) petang, yang siaran persnya disampaikan kepada wartawan, Kamis (20/1), yang juga diterima Jurnalis Koran “SIB” Jamida P. Habeahan.

Dalam diskusi ini juga tampil sebagai narasumber Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, pengamat hukum tata negara Ferry Amsari dan pengamat politik Chusnul Mar'iyah.

Fahri mengharapkan agar fungsi-fungsi MPR yang tidak berjalan dengan baik saat ini harus dikembalikan. Karena MPR telah dijadikan sebagai lembaga tinggi negara melalui amendemen UUD 1945 dengan sistem joint session atau dua kamar (kamar), sehingga MPR tidak perlu lagi sebagai lembaga permanen.

"Peran-peran yang selama ini dibebankan kepada DPR dan DPD seharusnya ditarik oleh MPR," kata Fahri sambil menambahkan, belakangan ini ada kecenderungan lahirnya kembali sistem kepartaian yang menganggap bahwa lembaga negara tidak berjarak dengan kekuasaan parpol.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menegaskan, MPR kini masih tetap kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, meski beberapa kewenangannya dihilangkan.

"Meskipun wewenang untuk memilih, mengangkat dan menetapkan presiden sudah tidak lagi menjadi wewenang MPR, kemudian tidak punya lagi wewenang menetapkan garis-garis besar haluan negara, MPR tetaplah merupakan lembaga tertinggi negara," kata Basarah.

Menurutnya, jika peran atau wewenang MPR dihapus, justru akan membuat bingung. Akan timbul pertanyaan siapa yang akan melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum.

Basarah mengatakan, sudah jelas bahwa wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan kita.

Kalau wewenang ini dihapuskan atau dijadikan lembaga tidak permanen maka tidak ada yang melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilu.

Artinya tidak ada lembaga yang bisa memberhentikan Presiden dan Wapres di tengah masa jabatan.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara Feri Amsari mengatakan, 'jenis kelamin' MPR saat ini tidak jelas.

Berdasarkan tafsir ketatanegaraan dengan pendekatan original teks pembentuk UUD ketika membuat konstitusi saat ini, MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.

Jadi MPR itu tempat berkumpulnya anggota DPR dan DPD . Tempat berkumpulnya dua lembaga legislatif dalam sistem presidensial yaitu lembaga DPR dan DPD.

Mereka bertemu, sehingga sebenarnya lembaga MPR itu bukanlah lembaga tetap.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang ini mengatakan, kedudukan MPR dalam sistem pemerintahan sekarang, saling berkaitan dengan lembaga yang lain.

"Kita sadar itu ketika melakukan perubahan mendasar mau membentuk sistem pemerintahan presidensial yang murni dan konsekuen, kedudukan MPR sekarang ya seperti ini," katanya.

Namun, dalam pelaksanaannya ada ketidak-sinkronan dalam sistem ketatanegaraan saat ini, karena MPR lebih banyak politisnya dalam implementasinya, sebagai akibat tidak banyak orang yang bisa menjelaskan struktur bangunan kelembagaan MPR dan kedudukannya dalam sistem ketanegaraan saat ini.

Sebaliknya, pengamat politik dari Universitas Indonesia Chusnul Mariyah justru mendukung pendapat Ahmad Basarah dan tidak sepakat dengan Fahri Hamzah dan Feri Amsari.

Chusnul mengatakan, berdasarkan konsep kelembagaan dalam perspektif sejarah, MPR itu adalah penjelmaan rakyat, sehingga penanamaannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Kita selalu mengajarkan kepada anak-anak di bangku sekolah. Kalau Indonesia dijajah 350 tahun, kata siapa, emang Indonesia? Itu kerajaan dan kesultanan yang dijajah, Indonesia baru lahir pada 17 Agustus 1945. Indonesia berasal dari kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam dari Aceh-Papua, dimana Papua saat itu bagian wilayah Tidore," kata Chusnul.

Artinya, kedudukan MPR sebagai penjelmaan rakyat harus dipertahankan. Sebab, mempertahankan MPR bagian dari mempertahankan NKRI.

"Yang seharusnya dibubarkan, bukan MPR, tetapi DPD, karena dalam perpektif sejarahnya tidak ada, harusnya ada Utusan Golongan, sebab yang membangun NKRI kerajaan-kerajaan dan kesultanan Islam, itu ada perjanjiannya," jelas Chusnul.

Diharapkannya, kedudukan MPR dikembalikan seperti dilakukan perubahan UUD 1945, karena memiliki paradigma musyawarah, bukan seperti sekarang seakan-akan partai politik yang paling tahu, padahal tidak pernah membaca historical background pembentukan NKRI.

"MPR itu the guardian of constitution yang berkedaulatan ada di sini, dia mempertahankan eksistensi negara. Kalau sekarang ada keinginan kembali ke UUD Dasar 45, kenapa tidak melakukan apa yang dilakukan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1959 untuk kembali ke UUD 1945, mengembalikan lembaga penjelmaan rakyat," tukasnya. (H1/d)

Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru