Jakarta (SIB)
Ferry Joko Yuliantono menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar presidential threshold atau ambang batas presiden dari 20 persen menjadi 0 persen. Sebab, aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki. Gugatan ke-14 dengan isu yang sama.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum Ferry dalam berkas yang dilansir website MK, Rabu (8/12).
Pasal 222 yang diminta dihapus ialah:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Permohonan Waketum Partai Gerindra itu bukan hal yang baru. Sebelumnya, Rizal Ramli melakukan hal serupa pada 2020. Rizal Ramli tetapi meyakini bahwa sistem presidential threshold sebesar 20 persen merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal yang merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat. Menurut Rizal Ramli, saat ini di seluruh dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia, tetapi tidak ada pembatasan semacam presidential threshold.
Namun, pada Januari 2021, MK tidak menerima gugatan itu. Lima hakim konstitusi menilai Rizal Ramli tidak mempunyai hak mengajukan judicial review Pasal 222 UU Pemilu itu.
Menurut 5 hakim MK itu, permasalahan berapa banyak jumlah orang yang bisa ikut capres bukanlah masalah konstitusionalitas. Presidential threshold adalah kebijakan politik terbuka, bukan masalah konstitusionalitas.
"Seandainya memang benar didukung parpol atau gabungan parpol, Pemohon I mestinya menunjukkan dukungan dalam batas penalaran yang wajar menunjukkan bukti dukungan itu ke MK," ujar hakim MK Arief Hidayat.
Saat mengadili permohonan Rizal Ramli itu, empat hakim MK setuju permohonan Rizal Ramli diadili ke pokok perkara. Mereka adalah Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
"Pertama, bahwa Pemohon II adalah warga negara yang terdaftar sebagai pemilih dalam pemilihan umum memiliki hak untuk memilih (right to vote) dan mendapatkan sebanyak mungkin pilihan pemimpin (presiden dan wakil presiden) yang akan menyelenggarakan pemerintahan," kata Saldi Isra-Suhartoyo-Manahan-Enny dalam dissenting opinion di putusan MK.
Kedua, bagi pemohon, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) berpotensi mengabaikan hak konstitusional Abdulrachim Kresno yang menjadi terbatas memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden. Fakta empirik yang dikemukakan, akibat ambang batas pencalonan presiden, penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019 hanya memunculkan dua pasangan calon dengan calon presiden yang sama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
"Ketiga, bahwa selain kedua alasan di atas, ditambahkan Pemohon II, penerapan ambang batas pencalonan presiden dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyingkirkan pesaing atau calon penantang di pemilihan presiden," ujar 4 hakim MK.
Namun apa daya, suara Saldi-Manahan-Enny-Suhartoyo kalah oleh lima hakim MK lainnya, yaitu Ketua MK Anwar Usman, Wakil Ketua MK Aswanto, hakim konstitusi Arief Hidayat, hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh, dan hakim konstitusi Wahiduddin Adams. Akhirnya permohonan Rizal Ramli kandas.
Selain itu, judicial review Pasal 222 sudah pernah digugat ke MK sebanyak 12 kali. (detikcom/c)