Jakarta (SIB)
Jaksa Penyidik Pidana Khusus kejaksaan Agung terus mengusut kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan usaha Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) anggaran tahun 2016-2019.
Kali ini penyidik yang bermarkas di gedung bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan memeriksa mantan Vice President Perdagangan, Penangkapan dan Pengelolaan (PPP) PT Perum Perindo sebagai saksi.
"WP diperiksa sebagai saksi terkait mekanisme penunjukan, teknis kerja sama dan pembayaran transaksi dengan mitra perdagangan ikan,"kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Jakarta, Senin (20/9).
Selain WP, penyidik juga memeriksa DAG selaku Direktur Operasional Perum Perindo tahun 2016-2017 sebagai saksi.
"Diperiksa diperiksa terkait mekanisme proses bisnis jual beli ikan dan budidaya udang,"ujarnya.
Terkait kronologis kasus tersebut Leo menjelaskan kasus posisi tindak pidana korupsi di Perum Perindo berawal pada tahun 2017 Perum Perindo menerbitkan MTN (Medium Tern Notes) atau utang jangka menengah. MTN adalah salah satu cara mendapatkan dana dengan menjual prospek.
Perum Perindo mendapatkan dana MTN sebesar Rp 200 miliar yang cair dalam dua kali yakni pada Agustus 2017 sebesar Rp100 miliar dengan return 9% dibayar pertriwulan, jangka waktu 3 tahun yang jatuh tempo pada Agustus 2020, dan pencairan pada Desember 2017 sebesar Rp100 miliar return 9,5% dibayar pertriwulan, jangka waktu 3 tahun yang jatuh tempo pada Desember 2020.
Selanjutnya, MTN yang diterbitkan di tahun 2017 sebesar Rp 200 miliar oleh Perum Perindo sebagian besar dananya untuk modal kerja perdagangan. Hal ini bisa dilihat dengan meningkatnya pendapatan perusahaan yang di tahun 2016 sebesar kurang lebih Rp 223 miliar meningkat menjadi kurang lebih Rp 603 miliar di tahun 2017 dan mencapai kurang lebih Rp1 triliun tahun 2018. Kontribusi terbesar berasal dari pendapatan perdagangan.
Pencapaian dilakukan dengan melibatkan semua unit usaha untuk melakukan perdagangan, sehingga menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan menjadi lemah, dimana masih terjadi transaksi walau mitra terindikasi macet.
“Kontrol yang lemah dan pemilihan mitra kerja yang tidak hati-hati menjadikan perdagangan pada saat itu, perputaran modal kerjanya melambat dan akhirnya sebagian besar menjadi piutang macet sebesar Rp181.196.173.783,â€pungkasnya (H3/c)