Medan (SIB)
Pasca terungkapnya bisnis jual-beli (lego) lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN-2 seluas 8.077,76 hektar kepada pihak developer Deli Megapolitan (DMP) dari perusahaan besar Ciputra Group (PT CKPSN) pada akhir September lalu, sejumlah pihak di daerah ini mempertanyakan, kenapa semua pihak yang berkompeten mengusutnya, justru tampak diam-diam saja.
Praktisi hukum Raja Makayasa Harahap SH selaku pemerhati agraria dari lembaga Citizen Lawsuit Sumut-Medan dan aktivis peduli pertanahan Sahat Simatupang dari Aliansi Aktivis 98 Sumut, menyatakan sikap dan aksi diam itu juga terjadi walaupun pihak legislatif di Komisi I DPRD Deliserdang telah membuat rekomendasi menolak pelepasan atau penjualan lahan HGU dengan dalih kerjasama antara PTPN-2 dengan Ciputra Groupuntuk pembangunan Kota DMP tersebut.
"Rekomendasi penolakan pelepasan lahan negara di areal HGU PTPN-2 itu ditegaskan komisi yang membidangi pertanahan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komunitas Cinta Tanah Sumatera (CTS) pada 27 September lalu di Gedung DPRD Deliserdang Lubukpakam, dipimpin langsung Ketua Komisi-I Imran Obos. Tapi entah kenapa saat ini semua pihak jadi diam, walaupun di pihak kita sedang menyiapkan data untuk laporan ke KPK dan instansi hukum terkait," ujar mereka kepada pers di Medan, Selasa (23/11).
Soalnya, ujar Raja Makayasa, publik dari kalangan Komunitas CTS selaku pelapor, telah meminta pihak PTPN-2 agar transparan mempublisir besaran (luas) lahan dan titik lokasi mana saja yang dilepas pihak perusahaan plat merah itu kepada pihak ketiga (DMP). Sementara, delegasi Aktivis 98 berharap kasus ini ikut diusut pihak Kejaksaan Agung, baik pasca kunjungan Jaksa Agung ST Burhanuddin ke Medan pekan lalu, maupun pasca bentukan Tim Adhiyaksa Estate oleh Kejati Sumut pada Mei lalu.
Soalnya, ujar Raja dan Sahat, pihaknya mempertanyakan juga, apa boleh tanah atau aset negara atau BUMN dilepas-jual atau dilego kepada pihak korporasi seperti PT CKPSN? Terlebih, ada lima areal kebun seluas (total) 8.077,76 hektar lahan HGU PTPN-II yang sudah terjual atau dilego senilai total estimasi Rp 203 miliar kepada developer konglomerasi untuk pembangunan Kota DMP yang sedang berlangsung saat ini.
"Kalau bisa dilepas begitu, apa dasar hukumnya? Apakah ada peran jaringan mafia tanah di sini sehingga aset negara yang melebihi luas lahan eks HGU PTPN-II yang hanya 5.873,06 hektar, bisa lepas begitu saja?. Kalau diusut serius, banyak lahan lain eks HGU PTPNB-2 ini yang (diduga) sebenarnya sudah pindah tangan ke orang lain. Bisa saja sementara ini didiamkan, tapi nanti akan terungkap juga seperti sejumlah kasus lainnya," katanya serius sembari memaparkan sejumlah kasus lain terkait jual beli lahan eks HGU PTPN-2 yang berpotensi korupsi.
Bahkan, surveyor ekonomi dan pemerhati investasi nasional, Captain Tagor Aruan dari Tugu Muda Group, sebelumnya menyatakan transaksi jual beli lahan HGU PTPN-II sebagai aset negara di BUMN, terkesan jadi sinyal kebobolan sejumlah pihak terkait, atau justru kesengajaan bernuansa kolusi kapitalisme antara sekelompok pejabat dengan pihak konglomerat berkedok investasi pembangunan daerah dan perluasan kota.
"Kasus dengan kesan gampang dan cepatnya proses transaksi pelepasan hak aset negara ini juga mengindikasikan tingginya gaya permainan mafia tanah di daerah ini. Bahkan, banyak pihak yang melihat para mafia tanah di daerah ini seperti kebal hukum, baik dari sisi modus atau sisi kapitalnya," ujar Tagor prihatin. (A5/f)