Jakarta (SIB)
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menyoroti surat edaran yang diteken Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian soal wewenang penjabat (Pj) kepala daerah dapat memberhentikan, memberikan sanksi, hingga memutasi pegawai. Saan meminta surat edaran itu dicabut.
Saan mengingatkan bahwa masa jabatan Pj gubernur saat ini berbeda dengan mekanisme sebelumnya. Pasalnya, saat ini ada banyak gubernur yang akan digantikan oleh Pj hingga gelaran pilkada serentak pada 2024.
"Sekarang Pj sementara ini kan hampir seluruhnya, 33 gubernur provinsi, 34 dengan DIY. 500 lebih bupati, wali kota, yang memang menjelang 2024 seluruhnya berakhir masa jabatannya, kecuali yang Pilkada 2020, 9 gubernur. Berbeda kalau dulu Plt kan beberapa, ada 1-2 lah gubernur di-Plt. Sekarang kan jumlahnya besar, kontrol dari Mendagri itu akan menjadi lebih besar lagi mengawasi itu semua," kata Saan dalam rapat bersama Mendagri Tito Karnavian di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/9).
Saan mewanti-wanti Pj gubernur rentan menyalahgunakan wewenangnya dengan dasar surat edaran tersebut. Terlebih, untuk kepentingan politis.
"Nah kalau diberikan ruang melalui surat edaran ini, ini sama juga nanti diberikan legitimasi dia untuk hal-hal yang dalam pemahaman kita nanti. Jangan sampai nanti itu disalahgunakan. dia akan menyalahgunakan surat edaran Mendagri untuk kepentingan politiknya," ujar Saan.
Saan menambahkan surat edaran yang diteken Tito itu membuka potensi Pj kepala daerah bertindak sewenang-wenang terhadap aparatur sipil negara (ASN). Selain itu, Saan mengatakan surat edaran tersebut bertentangan dengan undang-undang di atasnya, salah satunya UU Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Akan bertindak sewenang-wenang juga terhadap ASN karena tidak perlu izin tertulis dan surat edaran ini banyak bertentangan dengan undang-undang yang tadi saya sebutkan," katanya.
Atas argumentasi tersebut, Saan mengusulkan agar SE itu dicabut. Saan mengatakan SE tersebut mengandung rawan multi-interpretasi pada pelaksanaannya.
"Jadi saya mengusulkan surat edaran tersebut kalau bisa dicabut, karena nanti rawan interpretasi. Bukan hanya rawan interpretasi oleh para Pj gubernur, bupati/wali kota, juga rawan interpretasi di publik. Ini penting," ujar dia. (detikcom/c)