Jakarta (SIB)
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt Gomar Gultom menyatakan keheranannya atas dibahasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (LMB) di DPR RI.
“Saya geleng-geleng kepala terhadap pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol di DPR-RI saat ini. Pada 2016, PGI telah menyampaikan pandangan mengenai hal ini melalui RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) DPR RI,†kata Pdt Gomar Gultom dalam komentarnya di media sosial yang dikirim kepada SIB, Jakarta, Jumat (13/11).
Menurut Gomar, begitu banyak desakan dari masyarakat yang meminta agar DPR memprioritaskan pembahasan RUU PMHA (Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum), RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), yang malah diabaikan.
Padahal RUU tersebut, lanjut dia, sangat mendesak karena menyangkut masalah-masalah struktural yang sulit diselesaikan tanpa kehadiran sebuah regulasi yang berwibawa.
“Saya melihat pendekatan dalam RUU LMB ini sangat infantil, apa-apa dan sedikit-sedikit dilarang. Kapan kita mau dewasa dan bertanggung-jawab?†ujar Gomar.
“Di saat negara Arab seperti UEO yang kini membebaskan minuman keras, kita malah hendak mengeluarkan regulasi yang melarang minuman beralkohol,†tegas dia.
Menurut Gomar, yang dibutuhkan saat ini adalah pengendalian, pengaturan dan pengawasan yang ketat, disertai penegakan hukum yang konsisten.
Dan sesungguhnya, urai dia, hal ini sudah diatur dalam KUHP (pasal 300 dan 492) dan Permen Perdagangan (No 25/2019). Yang dibutuhkan adalah konsistensi dan ketegasan aparat dalam pelaksanaannya.
“Tidak semua hal harus diselesaikan dengan undang-undang, apalagi dengan beragamnya tradisi dalam masyarakat Indonesia tentang minuman beralkohol ini,†kata Gomar.
“Yang jauh lebih penting adalah pembinaan serius oleh seluruh komponen masyarakat agar masyarakat kita makin dewasa dan bertanggung-jawab,†tambah dia.
Pendekatan prohibitionis atau larangan buta seperti RUU ini, menurut Gomar, tak menyelesaikan masalah penyalah-gunaan minuman beralkohol.
“Janganlah sedikit-sedikit kita selalu hendak berlindung di bawah undang-undang dan otoritas negara, dan dengan itu jadi abai terhadap tugas pembinaan umat,†tandasnya.
PIKIRKAN PRODUSEN TUAK
Sementara itu, Ketua DPRD Sumatera Utara (Sumut) Baskami Ginting menyatakan sepakat RUU Larangan Minuman Beralkohol untuk disahkan. Menurutnya, perlu ada undang-undang untuk mengatur peredaran minuman beralkohol di Indonesia.
"Saya sependapat untuk undang-undang disahkan tentang minuman keras karena sekarang masyarakat banyak menyalahgunakan," ucap Baskami, Jumat (13/11).
Namun, Baskami berharap DPR memikirkan nasib pengusaha kecil seperti produsen ataupun penjual minuman beralkohol tradisional. Dia mengatakan masih ada warga, terutama di Sumut, yang menggantungkan hidup dari usaha kecil di bidang minuman alkohol tradisional seperti tuak.
"Tapi juga begitu, harus DPR juga, kami harus memikirkan masyarakat yang pengusaha lemah ini," tutur Baskami.
"Dampaknya banyak pengusaha ini, minuman ini, pengusaha-pengusaha kecil lah. Semua harus dikaji bersama, harus kita rumuskan aturan mainnya," sambungnya.
Dia mengatakan RUU tersebut harus memuat aturan jelas untuk mengontrol agar minuman keras tidak mudah didapatkan, terutama oleh anak-anak. Baskami mengaku khawatir jual beli minuman beralkohol yang tidak terkontrol berbahaya bagi masyarakat.
"Kontrol itu harus ditingkatkan. Orang-orang sudah lepas kontrol dia. Anak-anak kita, yang belum layak mereka konsumsi sudah mereka konsumsi. Menjaga ini," ujarnya.
Baskami mengatakan pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol harus dilakukan secara detail agar tidak menimbulkan masalah baru. Dia berharap RUU Larangan Minuman Beralkohol tidak mematikan pengusaha tuak kecil.
"Harus dipikirkan masyarakat juga, yang pengusaha, mereka kan mau makan juga. Tuak gitu, tuak bagi orang tua yang sehat ini sekadar tak masalah. Tapi anak-anak ini, masih remaja sudah minum malah negatif yang mereka lakukan," ucap Baskami. (J03/detikcom/a)