Jakarta (SIB)
Kabar baik bagi masyarakat atas langkah pemerintah yang akhirnya membatalkan rencana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada sembilan bahan pokok. Ini merupakan keputusan tepat karena hal dapat membantu menjaga daya beli masyarakat yang sudah banyak melemah akibat pandemi Covid-19.
Meskipun pembatalan ini belum final, dikecualikannya sembilan bahan pokok dari objek yang dikenai PPN perlu diapresiasi.
Sebab pandemi covid-19 menyebabkan pendapatan sebagian masyarakat berkurang bahkan hilang. Ini menyebabkan daya beli menjadi rendah. "Masyarakat lebih memilih mengonsumsi pangan murah dan mengenyangkan yang belum tentu bergizi. Jika PPN dikenakan ke sembako, komoditas pokok ini dikhawatirkan menjadi semakin tidak bisa dijangkau,†jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta di Jakarta saat diwawancarai, Selasa (5/10).
Sehingga Pemerintah akhirnya membatalkan rencana pemberlakuan PPN terhadap barang barang kebutuhan pokok atau sembako, yaitu beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi.
Kenaikan harga secara umum, termasuk dengan pengenaan PPN, akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat padahal, belanja rumah tangga, bersama konsumsi pemerintah, merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional di saat sulit seperti sekarang ini.
Pemberlakuan PPN pada sembako tidak saja akan meningkatkan harga pangan dan karenanya mengancam ketahanan pangan, bukan hanya bagi yang berpendapatan rendah, melainkan juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum.
"Harga bahan pangan yang tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama beberapa tahun ke depan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah,†kata Aditya.
Kebutihan akan Pangan merupakan salah satu komponen utama pengeluaran rumah tangga, dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56% dari pengeluaran rumah tangga mereka. PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.
Jika dilihat ketahanan pangan Indonesia sendiri berada di peringkat 65 dari 113 negara menurut Economist Intelligence Unit's Global Food Security Index 2020. Salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia adalah masalah keterjangkauan.
Selanjutnya data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang atau sekitar 10% penduduk. Jumlah ini menunjukkan kenaikan sebesar 1,12 juta orang di bandingkan Maret 2020.
Tingkat Kemiskinan pada Maret 2021 tercatat sebesar Rp472.525/ kapita/ bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp349.474 (73,96%) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp123.051 (26,04%). (Metro TV/Dik/TM/a)