Jakarta (SIB)
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengajukan banding atas vonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy melakukan perlawanan atas putusan hakim itu.
"Sudah menyatakan banding kemarin (Kamis, 22/7)," ujar pengacara Edhy, Soesilo Aribowo, saat dimintai konfirmasi, Jumat (23/7).
Soesilo mengatakan salah satu alasan Edhy mengajukan banding adalah ada dissenting opinion hakim pada putusan 5 tahun penjara. Dalam dissenting opinion, hakim anggota I, Suparman Nyompa, menilai Edhy Prabowo hanya terbukti bersalah melanggar Pasal 11 UU Tipikor.
Pada sidang vonis sebelumnya, hakim Suparman Nyompa mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait vonis Edhy. Hakim Suparman keberatan apabila Edhy dijatuhi vonis melanggar Pasal 12 huruf a UU tentang Pemberantasan Tipikor.
Hal itu disampaikan Suparman Nyompa sebelum hakim ketua Albertus Usada membacakan vonis kepada Edhy Prabowo dkk di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (15/7). Suparman menilai Edhy seharusnya dijatuhi vonis melanggar Pasal 11 UU Tipikor.
"Bahwa hakim anggota I berpendapat sesungguhnya Terdakwa (Edhy Prabowo) hanya melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada dakwaan alternatif kedua," ujar Suparman.
Alasannya antara lain Suparman berkeyakinan Edhy tidak mengetahui uang USD 77 ribu dari Direktur PT DPPP yang diterima stafsusnya bernama Safri. Hakim Suparman mengatakan dalam sidang tidak terungkap bahwa Edhy mengarahkan anak buahnya untuk menerima suap atau meminta uang dari pengusaha eksportir benur.
Selain itu, hakim Suparman mengungkapkan, dalam sidang, terbukti Safri menyerahkan USD 77 ribu tidak kepada Edhy, melainkan ke Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy. Tak hanya itu, Edhy juga disebut hakim Suparman tidak menandatangani izin ekspor dan budi daya benur PT DPPP.
Diketahui, Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy Prabowo terbukti bersalah menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur.
Hakim mengatakan Edhy menerima uang suap sebesar USD 77 ribu dari Direktur PT DPPP, Suharjito. Selain itu, Edhy juga menerima uang keuntungan sebesar Rp 24 miliar dari PT ACK terkait ekspor benur. Jika ditotal seluruhnya Edhy menerima Rp 25,7 miliar.
"Terdakwa menerima USD 77 ribu dari Suharjito selaku Direktur PT DPPP dan uang Rp 24.625.587.250," kata hakim dalam putusannya.
Selain itu, hakim menjatuhkan pidana tambahan, yakni Edhy diharuskan membayar uang pengganti senilai Rp 9 miliar dan USD 77 ribu atau setara Rp 10 miliar. Hakim juga mencabut hak politik Edhy untuk dipilih setelah menjalani masa pidananya selama 3 tahun.
Siapkan Kontra Memori
Sementara itu, KPK akan menyiapkan kontra memori banding untuk menghadapi upaya hukum Edhy tersebut.
"Tentu terkait upaya hukum yang diajukan oleh para terdakwa maka kami akan siapkan kontra memori banding sebagai bantahan atas dalil upaya hukum dimaksud," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan.
Ali mengatakan KPK tidak mengajukan upaya hukum banding atas vonis tersebut. Apa alasannya?
"Setelah kami pelajari, analisa JPU dalam tuntutannya telah diambil alih majelis hakim dalam pertimbangannya, sehingga kami tidak mengajukan upaya hukum banding," ujarnya. (detikcom/a)