Medan (SIB)
Anggota Komisi E DPRD Sumut Dr Jonius Taripar Hutabarat mengatakan, pihaknya sudah memanggil Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Biro Kesra) Rita Tavip Megawati dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu (10/8).
Pemanggilan tersebut terkait adanya protes puluhan Pendeta Karismatik terhadap Peraturan Gubernur Sumut (Pergub) Nomor 19 Tahun 2022 tentang tata cara pengelolaan belanja hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD.
Pergub tersebut sudah membuat para pendeta karismatik resah, karena pada pasal 7 dalam disebutkan, lembaga atau badan yang tidak memenuhi peryaratan penerima hibah adalah rumah ibadah berbentuk Musholla, Surau dan Gereja Karismatik.
Hal itu membuat para pendeta karismatik mendatangi DPRD Sumut dan diterima Fraksi PDI Perjuangan, Selasa (9/8).
Menurut pria yang akrab disapa Taripar ini, pada RDP tersebut, Kabiro Kesra sudah membuat nota perubahan Pergub 19/2022, diharapkan dalam waktu dekat sudah diubah.
“Kita minta jangan ada lagi kata-kata aliran karismatik dalam pasal di Pergub tersebut,” kata Taripar kepada wartawan, Jumat (12/8).
Mantan Kapolres Taput ini menyebutkan, sebenarnya maksud Pemprov Sumut di dalam Pergub tersebut, gereja-gereja yang memimiliki struktur bertingkatlah yang mendapat bantuan hibah.[br]
Kalau gereja-gereja kecil, musholla atau surau, biarlah menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Pemprov Sumut menganggap gereja karismatik ini adalah gereja kecil, sama seperti Islam ada musholla dan surau.
“Maksud Biro Kesra, biarlah gereja-gereja besar saja dapat bantuan hibah Pemprov Sumut. Rata-rata dana yang diberikan jumlahnya Rp 50 sampai Rp 100 juta, sifatnya adalah bantuan, bukan memberi dana untuk membangun keseluruhan gereja. Kalau dikasih Rp 50 juta atau Rp 100 juta kepada rumah ibadah kecil, bukan bantuan namanya, tapi sudah memberi bantuan untuk membangun satu gedung, itulah maksud pemprov,” terang politisi Perindo ini.
Apapun alasan Pemrov Sumut kata Taripar, Komisi E tetap menyarankan supaya tidak ada bahasa gereja karismatik pada Pergub 19/2022.
Karena gereja karismatik itu ada yang besar, seperti GBI Rumah Persembahan, GPdI Maranatha Jalan S Parman dan lainnya dengan jumlah jemaat ribuan, tapi ada juga yang kecil.
Ada gereja memiliki struktur sampai ke pusat, seperti HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP, GKPPD dan lainnya. Tapi itu tidak boleh dibeda-bedakan dengan karismatik, nanti jadi multitafsir.
Bantuan ke rumah ibadah jangan dibatasi dengan aturan, bisa jadi temuan BPK. Karena anggota dewan ada yang sudah memberi bantuan kepada gereja-gereja karismatik.[br]
“Makanya kami desak agar Pergub tersebut segera direvisi. Buatlah aturan yang jelas, jangan sertifikat rumah ibadah dibawa-bawa jadi suatu syarat menerima bantuan. Di desa-desa banyak gereja tidak memiliki sertifikat, karena tanahnya hibah. Jangan kita buat perangkap yang menjebak kita sendiri,” tegasnya.
Kabiro Binsos kata Taripar sudah mengeluarkan nota dinas untuk disampaikan kepada gubernur agar Pergub Nomor 19 Tahun 2022 dievaluasi, khususnya pasal 7.
Tidak boleh Pergub membatasi gereja. “Gereja itu ada dua jenis, gereja Protestan dan Katolik, karismatik itu masuk Protestan, ada gereja yang tergabung dalam keanggotaan PGI, ada juga yang masuk ke organisasi lain seperti PGPI, PGLII dan lainnya,” tuturnya. (A8/d)