Jakarta (SIB)- Sejumlah kalangan meminta pemerintah serius melaksanakan hak tagih negara atas utang debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum melunasi sisa utangnya. Pasalnya, hak tagih negara itu tidak ada masa kedaluwarsa dan bisa ditagih hingga ke anak dan cucu obligor.
Apalagi, negara kian terbebani kewajiban utang yang membengkak akibat menalangi utang BLBI itu. Di sisi lain, obligor nakal yang belum melunasi utangnya itu kini sebagian besar justru masuk daftar orang terkaya Indonesia.
Demikian dikatakan Direktur Ekekutif Energy Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara ketika dihubungi, Senin (07/12). Marwan mendesak pemerintah untuk terus melakukan hak tagih terhadap obligor.
"Artinya kewajiban obligor akan tetap ditagih oleh negara hingga anak cucu obligor, tidak boleh berhenti meskipun bisa saja dikatakan kasus pidana BLBI kedaluwarsa," tegas dia.
Menurut Marwan, dalam hal ini pemerintah tidak boleh kalah, meskipun skandal ini melibatkan banyak orang penting di negri ini.
Pemerintah adalah representase rakyat karena itu seperti apapun tekanannya pemerintah harus berani karena ini menyangkut uang rakyat apalagi negara harus terbebani untuk membayar 100 triliun rupiah per tahun. "Intinya hak rakyat harus dikembalikan."
Sebagaimana dikabarkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, akhir pekan lalu, mengaku sedih melihat negara terbebani dengan utang BLBI itu.
Oleh karena itu, pemerintah mesti bertindak tegas seperti melaksanakan hak tagih itu dan menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI, guna menghentikan jebolnya keuangan negara akibat menanggung utang BLBI.
Saat berpidato di pelantikan pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta, Jumat (4/12) malam, Wapres Jusuf Kalla dikabarkan tak bisa menutupi rasa sedih dan marahnya melibat beban negara yang harus terus membayar bunga obligasi rekap eks BLBI. Setiap tahun negara harus membayar sekitar 100 triliun rupiah dari APBN. Kewajiban ini harus terus ditanggung sampai puluhan tahun ke depan atau bahkan sampai seumur hidup.
"Akibat krisis 1998, kita masih kena bayar (bunga) BLBI 100 triliun rupiah setiap tahun. Kita sudah 15 tahun bayar, mungkin 30 tahun lagi jadi beban kita, mungkin juga seumur hidup," ungkap Wapres.
Marwan juga mengaku gerah, pasalnya selama ini para obligor nakal tersebut menikmati uang rakyat itu dengan berfoya-foya di luar negeri.
Di sisi lain, rakyat selama sekitar 15 tahun ini terbebani untuk membayar utang-utang tersebut. Jadi, ini tidak adil, beban rakyat harus berakhir apalagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melihat ada indikasi penyimpangan bantuan sekitar 138 triliun rupiah.
Revolusi Mental
Direktur Mubyarto Institute, Awan Santosa, menambahkan perlu penyelesaian masalah besar untuk mengembalikan marwah politik di Tanah Air.
Dan, sebagaimana yang disebut Wapres, skandal BLBI yang membuat uang APBN tersedot 100 triliun setiap tahun untuk membayar bunganya saja, semestinya jadi prioritas utama.
"Presiden harus berani katakan pengemplang harus bayar. Itu selain meringankan beban APBN sekaligus pernyataan politik bahwa rezim ini bebas dari kekuatan oligarki masa lalu. Inilah revolusi mental," kata Awan.
Sebelumnya, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara, Sasmito Hadinegoro, mengungkapkan pemerintah semestinya menyadari masih ada debitur BLBI yang belum melunasi kewajibannya bisa memiliki aset di luar negeri dan membeli perusahaan asing.
"Kenyataan seharusnya disikapi pemerintah dengan melakukan hak tagih atas sisa utang debitur BLBI tersebut. Untuk ini, pemerintah bisa menggunakan hasil audit BPK dan audit KKSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan)," ujar dia.
Sasmito menjelaskan Indonesia sekarang sedang dalam kesulitan ekonomi. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah utang pemerintah yang mencapai hampir 4.000 triliun rupiah, defisit APBN yang membengkak, kurs rupiah menembus 14.000 per dollar AS, serta cadangan devisa yang tak cukup menopang stabilitas rupiah.
"Padahal kalau beban utang BLBI dikurangi dari hasil hak tagih maka perekonomian nasional sekarang ini tidak akan sekarat. Lagi pula, melakukan moratorium pembayaran bunga obligsi rekapitalisasi perbankan eks BLBI juga tidak masalah, malah bisa membuat APBN menjadi sehat," kata dia.
Sasmito pun lantas mempertanyakan peran negara yang enggan membantu rakyat dalam melaksanakan penuntasan secara hukum, sehingga belasan tahun skandal BLBI dibiarkan berlalu sedangkan beban yang ditanggung negara berlanjut, bunga obligasi rekap sampai 2043 dan pokoknya harus dibayar. (KJ/c)