Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Jumat, 04 Juli 2025

Warga Rusia Mengamuk, Puluhan Tempat Wamil Dibakar

* Protes Mobilisasi Militer, Ribuan Orang Ditangkap
Redaksi - Selasa, 27 September 2022 09:10 WIB
593 view
Warga Rusia Mengamuk, Puluhan Tempat Wamil Dibakar
Foto: vk.com/welomonosovs via themoscowtimes
DIBAKAR: Kantor rekrutmen wajib militer dibakar di Lomonosov, wilayah Leningrad, Kamis (22/9) setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan mobilisasi yang memungkinkan rakyatnya berperang di Ukraina. 
Moskow (SIB)

Warga Rusia membakar puluhan tempat rekrutmen wajib militer (wamil) setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan mobilisasi yang memungkinkan rakyatnya berperang di Ukraina.

Media Ukraina, Kyiv Post, melaporkan bahwa lebih dari 20 tempat rekrutmen wamil sudah menjadi target massa sejak Putin mengumumkan mobilisasi itu pekan lalu.

Menjelang akhir pekan, situasi kian panas. Media investigasi Rusia, Novaya Gazeta, melaporkan bahwa pembakaran terjadi di sejumlah daerah, termasuk Kawasan Leningrad, salah satunya Kota Kirovsk.

Di sana, warga membakar tempat pendaftaran wajib militer dengan menggantungkan tabung bahan bakar di jendela gedung.

Warga di kawasan lain, Kaliningrad, juga menumpahkan amarahnya dengan membakar tempat perekrutan wamil di Kota Chernyakhovsk dengan melemparkan bom molotov.

Tak hanya Novaya Gazeta, sejumlah media Rusia lain juga melaporkan insiden di berbagai penjuru Negeri Beruang Merah.

Situs 47News melaporkan insiden serupa di Kirovsk. Merujuk pada pemberitaan 47News, insiden terjadi sekitar pukul 05.30 waktu setempat.

Saat itu, seorang pria tak dikenal memasukkan selang ke dalam salah satu ruangan di tempat perekrutan di kota itu.

Ia kemudian mengalirkan bahan bakar dari tabung yang digantungkan di jendela gedung. Pria itu kemudian menyalakan api dan membakar gedung tersebut.

Akibat aksi ini, area seluas 10 meter di gedung itu terbakar. Seorang petugas jaga malam di gedung itu kemudian memadamkan api sebelum merembet ke area lain.

Media Kaliningrad No. 1 melaporkan bahwa saat ini, kepolisian sedang menggelar investigasi. Sementara itu, Amber Mash memberitakan bahwa pria pelaku pembakaran itu sudah ditangkap.[br]

Kejadian serupa juga terjadi di sejumlah daerah lain, seperti Gatchina dan Mordovia. Namun, tak ada korban terluka dalam rentetan insiden ini.

Berdasarkan laporan Novaya Gazeta, warga sudah beberapa kali membakar tempat perekrutan wajib militer di Rusia sebelum pengumuman mobilisasi pekan lalu.

Namun setelah pengumuman itu, insiden pembakaran semacam ini semakin sering terjadi. Warga naik pitam karena ogah direkrut untuk berperang di Ukraina.

Keputusan Putin ini juga memicu aksi demonstrasi di berbagai kota di Rusia. Orang-orang yang tak ikut berdemonstrasi memilih langsung kabur ke luar negeri, memicu kenaikan volume kendaraan di perbatasan Rusia.


Marah

Publik Rusia marah setelah mahasiswa, warga lanjut usia (lansia), bahkan orang-orang yang sakit secara keliru diperintahkan melapor untuk bertugas terkait mobilisasi militer ke Ukraina. Otoritas Rusia pun berjanji memperbaiki kesalahan dalam pemanggilan pasukan untuk operasi militer di Ukraina tersebut.

Seperti dilansir, Senin (26/9), ketika mengumumkan mobilisasi militer parsial, Rabu (21/9) pekan lalu, Presiden Vladimir Putin menyatakan hanya orang-orang dengan keterampilan yang 'relevan' atau memiliki pengalaman militer yang akan dipanggil untuk bergabung.

Namun banyak warga yang meluapkan kemarahannya setelah melihat -- terkadang tidak masuk akal -- kasus-kasus orang-orang yang tidak layak bertugas dipanggil otoritas Rusia untuk bergabung dalam operasi militer itu.

Salah satunya kasus di wilayah Volgograd, Rusia bagian barat daya, ketika otoritas setempat memanggil seorang mantan staf militer yang berusia 63 tahun dan menderita diabetes untuk hadir di kamp militer. Pemanggilan dilakukan meskipun warga itu memiliki kesehatan yang buruk dan gangguan serebral.


Ditangkap

Kepolisian Rusia menangkap lebih dari 100 orang di wilayah Dagestan, dalam unjuk rasa memprotes mobilisasi militer yang diperintahkan Presiden Vladimir Putin. Total ribuan orang telah ditangkap dalam unjuk rasa serupa di berbagai wilayah Rusia.

Seperti dilansir, Senin (26/9), Dagestan yang merupakan republik yang miskin dan mayoritas Muslim di Kaukasus Utara, telah melihat lebih banyak warganya tewas dalam operasi militer di Ukraina dibandingkan wilayah Rusia lainnya.[br]

Itu didasarkan pada penghitungan yang dilakukan media independen Rusia berdasarkan pemberitahuan kematian yang dirilis online.

Laporan kelompok pemantau hak asasi manusia (HAM), OVD-Info, menyebutkan, Minggu (26/9) bahwa kepolisian telah menangkap sedikitnya 101 orang di Makhatchkala, ibu kota Dagestan yang terletak di Rusia sebelah barat daya. Penangkapan dilakukan sepanjang akhir pekan kemarin.

OVD-Info dalam laporannya menyebut, lebih dari 2.300 demonstran telah ditangkap dalam unjuk rasa serupa di berbagai wilayah Rusia sejak 21 September lalu, ketika Putin memerintahkan mobilisasi militer parsial untuk 'operasi militer khusus' di Ukraina.


Kabur Ke Georgia

Ribuan pria Rusia beramai-ramai melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari mobilisasi militer yang diperintahkan Presiden Vladimir Putin. Beberapa dari mereka melarikan diri ke Georgia, salah satu negara tetangga Rusia.

Seperti dilansir, Senin (26/9), gelombang eksodus warga Rusia sejak perang dimulai di Ukraina pada Februari lalu telah melihat pria-pria usia wajib militer bergerak ke negara-negara Kaukasus, dengan aliran mobil membentang hingga sepanjang 20 kilometer.

Beberapa orang lainnya kabur dengan bersepeda dan bahkan ada yang nekat berjalan kaki sejauh beberapa kilometer demi mencapai perlintasan perbatasan.

Kebanyakan pria Rusia yang berbicara kepada AFP juga enggan memberikan nama lengkap mereka, karena mengkhawatirkan adanya pembalasan.

"Presiden kita ingin menyeret kita semua ke dalam perang saudara, yang dia nyatakan dengan alasan yang sama sekali tidak sah," ucap Denis (38) yang juga kabur ke Georgia.

Georgia menjadi pilihan utama bagi mereka yang menghindari mobilisasi militer, karena warga Rusia bisa masuk dan tinggal di sana selama setahun tanpa visa.

Otoritas Rusia, pada Sabtu (24/9) waktu setempat, mengakui untuk pertama kalinya bahwa ada aliran keluar para pelancong dari negara itu. Kementerian Dalam Negeri di wilayah yang berbatasan dengan Georgia menyebut adanya kemacetan yang melibatkan 2.300 mobil yang menunggu di perbatasan.[br]

Kementerian juga mengimbau orang-orang 'untuk menahan diri dari bepergian' ke arah Georgia, dengan menyatakan pergerakan menuju pos pemeriksaan 'sulit' dan bahwa petugas lalu lintas tambahan telah dikerahkan.


Perberat Hukuman

Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani dekrit untuk menghukum pasukan Rusia yang menyerah kepada musuh, membelot, dan termasuk warga yang tolak ikut berperang di Ukraina.

Pekan lalu Putin memutuskan untuk memobilisasi sebagian dari pasukan Rusia, yaitu 300.000 pasukan cadangan. Namun keputusan ini ditolak masyarakat.

Unjuk rasa pun terjadi di berbagai kota di Rusia. Bahkan menurut OVD-Info, pihak berwajib setidaknya telah menahan lebih dari 700 demonstran pada 32 kota yang melakukan unjuk rasa.

Sebelum dekrit ini berlaku, Kementerian Pertahanan Rusia juga mencopot Jenderal Dmitry Bulgakov, jenderal yang mengatur logistik pasukan Rusia berperang di Ukraina.[br]

“Jenderal Angkatan Darat Dmitry Bulgakov telah dicopot dari jabatan wakil menteri pertahanan dan akan digantikan oleh Kolonel Jenderal Mikhail Mizintsev,” kata kementerian Pertahanan Rusia, dikutip dari Aljazeera, Senin (26/9).

Namun Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menganggap Rusia melaksanakan referendum palsu.

Hal yang sama juga datang dari China. Bahkan China mendorong agar Rusia menghormati “kedaulatan dan integritas” negara lain.

China juga tidak ingin agar perang di Ukraina “tumpah” ke negara lain.

“Kami menyerukan kepada semua pihak terkait untuk menjaga agar krisis tidak meluas dan untuk melindungi hak dan kepentingan yang sah dari negara-negara berkembang,” ujar Menteri Luar Negeri China, Wang Yi pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Negara-negara Group 7 (G7) juga enggan untuk mengakui referendum itu. (CNNI/detikcom/Merdeka/d)


Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru