Humbahas (SIB)
Kejaksaan Negeri (Kejari) Humbang Hasundutan (Humbahas) memediasi dan mendamaikan atau melakukan restorative justice (JR) terhadap 2 kasus tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh warga Desa Marbun Toruan Kecamatan Baktiraja yang saling melapor.
Hal itu disampaikan Kajari Humbahas, Martinus Hasibuan SH didampingi Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Hiras Afandi Silaban kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin (29/11).
Dia mengatakan, upaya restorative justice adalah proses penyelesaian perkara di luar persidangan dengan tujuan untuk memulihkan keadaan semula antara korban dan tersangka, dengan asas Keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, cepat dan sederhana sebagaimana diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
"Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif juga adalah salah satu dari 7 program kerja Jaksa Agung Republik Indonesia tahun 2021," kata Martinus.
Lebih lanjut dia menjelaskan, Kejari Humbahas untuk pertama kalinya melakukan restorative justice dengan menghadirkan kedua belah pihak, baik tersangka maupun korban yang saling melapor atas nama tersangka DB (23) dan Korban MB (45) dan BB (38), sebaliknya tersangka MB (45) dan BB (38) dan korban DB (23) yang dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHPidana untuk DB (23) dan pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 KUHPidana yang ancaman pidananya 2 tahun 8 bulan dengan nomor perkara PDM-41/L.2.31/Eoh.2/11/2021 An. DB dan PDM-42/L.2.31/Eoh.2/11/2021 An. MB dan BB.
Selain kedua belah pihak, upaya restorative justice itu juga didampingi wali/keluarga masing-masing, kepala desa, Dinas PMDP2A Humbahas, penyidik Satreskrim Polres Humbahas, Kajari dan dan seluruh jaksa Kejari Humbahas.
"Perlu publik ketahui bahwa proses penyelesaian restorative justice mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hukum di pengadilan. Dengan adanya restorative justice ini dapat menekan angka penahanan atau menekan banyaknya orang masuk dalam tahanan atau penjara," kata Martinus.
Lebih lanjut dia menyampaikan, peran para tokoh masyarakat, tokoh agama maupun kepala desa dan perangkatnya sangat diharapkan untuk menyelesaikan suatu perkara di desanya supaya tidak terjadi lapor melapor ke pihak kepolisian.
"Kalau bisa dari emosional pertengkaran itu didamaikan tanpa melalui pengadilan, saya pikir itu adalah nilai-nilai luhur khususnya di kita orang Batak. Tidak mestilah harus melalui pengadilan baru kita bisa menyelesaikan perkara. Karena kita ada lembaga-lembaga tersendiri yang kita anggap perlu turun tangan di pemerintahan desa itu. Jadi saran kami, berdamai itu lebih indah daripada berperkara," harapnya.
Sementara Kasi Pidum Hiras Afandi Silaban menjelaskan, perkara yang dapat dilakukan restorative justice yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta. (BR7/f)