Masih terkait seputar permasalahan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerapkan pola pikir moderat (wasathy) dalam menjalankan tugas sehari-hari. Namun dalam penerapannya diharapkan agar tidak ada paham radikalisme yang muncul.
Hal tersebut disampaikan Ma'ruf dalam Rapat Pimpinan Dewan Pertimbangan MUI di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Senin (29/3). Katanya, MUI harus dapat mengawal agar tidak berkembangnya paham radikalisme melalui penerapan pola pikir wasathy yang tertera dalam kaidah-kaidah MUI, sehingga ke depan MUI dapat membantu pemerintah untuk melindungi negara, agama, dan umat.
Aksi teror bom tentu terkait dengan radikalisme, sehingga Wapres pantas meminta MUI ikut berperan menangkalnya. Karena ada pemahaman yang salah di dalam pemikiran masyarakat atau umat tentang keyakinan dan tujuan hidupnya.
Banyak masyarakat yang pengetahuan agamanya lemah dan berpotensi dipengaruhi kelompok yang berambisi merubah keadaan dengan cepat dan sesuai keinginan pribadi tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkannya, antara lain perpecahan.
Untuk itu harus diupayakan modernisasi dalam beragama, sehingga terbentuk iklim keagamaan yang toleran, moderat, damai dan inklusif. Sehingga mereka akan memahami keberagaman yang memang diciptakan Tuhan.
Peran MUI dan ormas keagamaan lainnya sangat dibutuhkan untuk mendorong masyarakat dan pemerintah menyelesaikan masalah radikalisme ini. Karena ada saja pihak yang menghambat upaya-upaya itu, termasuk para tokoh agama. Misalnya soal pemberlakuan sertifikasi atau kompetensi terhadap penceramah, hingga saat ini belum berjalan semestinya, karena masih ada pro-kontra di masyarakat.
Padahal dengan adanya sertifikasi, penceramah bisa dikontrol dalam memberikan bimbingan yang benar. Sehingga paham-paham yang berbau radikal tidak mudah menyusup ke pemikiran masyarakat.
Terpidana teroris Bom Bali Ali Imron pernah secara eksklusif diwawancarai sebuah media ternama mengatakan, ruang masyarakat kita untuk menjadikannya seorang radikal dan teroris sangat terbuka lebar. Hal ini dikarenakan seperti ada pembiaran kepada penceramah atau siapapun menyampaikan hal-hal berbau radikal kepada umatnya. Padahal, katanya, hal itu tidak bisa dibiarkan dan harus ada hukum yang tegas melarangnya.
Seperti diketahui, radikalisme adalah upaya sistematis yang dilakukan individu atau kelompok untuk melakukan perubahan dengan cara cepat melalui kekerasan. Banyak penyebab orang atau kelompok berani melakukan tindakan radikal. Selain adanya pembiaran seperti kata Ali Imron tadi, perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam dinamika umat beragama, sangat dipengaruhi teknologi informasi khususnya media sosial. Masyarakat dunia kini telah terintegrasi secara global. Sehingga pengaruh di belahan bumi lain sangat cepat masuk ke bumi pertiwi, termasuk berbagai isu menyangkut radikalisme.
Untuk itu perlu dilakukan upaya yang sistematis, masif, dan terstruktur menghadapi bahaya radikalisme. Tidak bisa hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang sporadis, apalagi hanya di saat hebohnya kasus terorisme. Harus ada upaya fundamental untuk bisa mencegah penetrasi radikalisme di dalam masyarakat saat ini.
Kemudian juga harus ada upaya untuk terus mengkampanyekan dan mempromosikan kontra-narasi terhadap gejala radikalisme. Salah satunya dengan memproduksi kajian-kajian yang moderat dan inklusif. Upaya ini harus dijalankan di semua perguruan tinggi secara berkelanjutan, berlangsung dalam jangka panjang dan harus menyentuh seluruh civitas akademika.
Misalnya momentum penerimaan mahasiswa baru harus disikapi dengan kampanye-kampanye moderasi keagamaan. Ide-ide menghormati keberagamaan yang berbeda, menghormati jalan pikiran yang berbeda, dan menghargai perbedaan pendapat harus berkembang sebagai semangat bersama.
Pembenahan pengajaran agama di sekolah-sekolah dasar dan menengah juga harus segera dilakukan, dengan pengadaan buku yang memuat program-program moderasi beragama yang kontra-radikalisme. Misalnya program mengajarkan tentang nasionalisme dan cinta tanah air. Pendidikan-pendidikan seperti ini yang diyakini mampu menghalau radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan. Pengajaran beragama yang inklusif harus mampu menghadirkan konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagai hal yang mempersatukan berbagai latar yang berbeda.
Program moderasi harus berkontestasi dengan berbagai pihak yang selama ini bersaing di ruang publik. Jika upaya ini tidak dilakukan, bisa saja kontestasi dimenangkan oleh pihak-pihak yang hanya menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan sesaat. Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai pemahaman yang dalam tetapi menguasai dan mendominasi dengan berbagai alat kelengkapannya.
Selain itu pemerintah daerah harus didorong membuat regulasi atau peraturan daerah seperti surat ederan yang memperintahkan aparatur sipil untuk bekerja sampai ke desa-desa melawan radikalisme. Membentuk forum-forum kerukunan umat, tim kewaspadaan dini, tim penanggulangan terorisme. Forum ini harus dipergunakan pemerintah daerah untuk mencegah tindakan radikalisme individu atau kelompok
Kita patut bersyukur memiliki infrastruktur keagamaan atau tradisi keberagamaan yang sangat kuat dalam menangkal radikalisme, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sudah lama menjadi ormas yang berperan besar mengembangkan semangat keagamaan yang moderat. Ormas keagamaan tradisional ini merupakan organisasi arus utama yang kuat dan tidak mudah dimasuki upaya-upaya ke arah radikalisme.
Dukungan kuat ini harus dimanfaatkan maksimal dengan menegakkan hukum secara tegas dan berani. Jangan takut hilang kekuasaan. Buktikan bahwa keberagaman itu memang indah sebagai sarana untuk menyejahterakan masyarakat. (***)
Sumber
: Hariansib.com edisi cetak