Mengawali tahun 2021, Indonesia mengalami duka mendalam dengan jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 jurusan Jakarta - Pontianak yang hancur di perairan Kepulauan Seribu.
Pesawat hilang kontak pada pukul 14.40 WIB, Sabtu (9/1/2021), beberapa saat setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta.
Pesawat jenis Boeing 737-524 itu membawa 62 orang yang terdiri dari 50 penumpang (40 dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi), dan 12 crew. Kejadian ini benar-benar sangat menyedihkan, terutama bagi para keluarga dan kerabat korban. Apalagi kejadiannya saat kita dirundung bencana pandemi Covid-19.
Bisa jadi antara para penumpang, crew dan keluarganya sudah lama tak bertemu akibat pembatasan dan birokrasi penerbangan demi memutus mata rantai penularan Covid-19. Momen libur Tahun Baru jadi sarana untuk bertemu, namun apa daya keadaan berkata lain.
Sedih yang mendalam juga sangat dirasakan masyarakat umum yang tidak terkait langsung dengan para korban, crew pesawat maupun keluarganya. Bahkan masyarakat dunia juga merasakan duka dengan mengirimkan ucapan bebelasungkawa kepada pemerintah RI.
Meski berduka, kita harus bekerja keras mencari permasalahan mengapa pesawat bisa jatuh. Hal ini untuk pertanggungjawaban agar tidak terulang lagi kejadian serupa di masa mendatang. Paling tidak meminimalisir musibah jatuhnya pesawat di Indonesia. Karena dari catatan, kecelakaam pesawat di negeri ini termasuk paling sering di dunia.
Memang hingga saat ini pencarian pesawat yang diperkirakan jatuh di antara Pulau Laki dan Lancang masih berlangsung dan sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dengan musibah pesawat Sriwijaya Air sudah ditemukan.
Barang bukti itu mulai dari serpihan pesawat, kabel, pecahan ban, tumpahan minyak, bagian tubuh, properti milik penumpang dan lainnya.
Kita berharap kotak hitam yang sudah ditemukan lokasinya bisa membuka "tabir" penyebab mengapa kecelakaan bisa terjadi.
Bila sudah diketahui duduk soalnya, pihak penerbangan harus terbuka ke publik supaya semuanya jelas dan bisa dijadikan bahan untuk mengontrol manajamen penerbangan. Publik akan bisa mengkritisi kondisi pesawat dan segala sesuatu yang terlibat di dalam industri penerbangan itu.
Dalam hal ini masyarakat bisa menentukan pilihan moda transportasinya sendiri. Berarti konsumen ikut menentukan keselamatannya. Bila dirasa cukup aman dan nyaman, konsumen akan memilih pesawat yang akan ditumpangi sesuai dengan kemampuan dan keinginan.
Tidak seperti sekarang ini, masyarakat tidak tahu bagaimana manajemen penerbangan maupun kondisi pesawat. Mereka hanya berpikir jadual dan ketersediaan seat, apalagi didukung tiket yang murah.
Masalah sumber daya manusia (SDM) penerbangan juga harus diperhatikan dan disempurnakan mengingat banyaknya kasus kecelakaan pesawat akibat disorientasi crew.
Seperti dikatakan seorang pengamat penerbangan Gerry Soejatman. Ia menyebut, pesawat jatuh penyebabnya tidak selalu sama.
Namun setidaknya ada tiga sebab, yakni karena cuaca, disorientasi crew dan karena kesalahan teknis. Untuk itu diperlukan rekrutmen yang betul-betul baik dan teruji bila ingin menjadikan sosok crew, terutama pilot, teknisi dan tenaga ahli penerbangan lainnya.
Tidak seperti yang diduga selama ini, perekrutan tidak terlalu ketat dan bahkan cenderung bisa terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Karena sosok penerbang termasuk profesi elite, siapa yang berkeinginan, meski kurang layak, bisa saja lolos dengan cara KKN tadi.
Di balik duka yang dalam, seharusnya kita introspeksi dan betul-betul mengkaji ulang manajemen penerbangan agar tak terulang kejadian serupa, apa pun alasan penyebabnya. Karena nyawa tak bisa tergantikan oleh apa pun. Kita juga tak ingin dicap sebagai negara yang tak mampu menyelesaikan masalah ini, sehingga layaknya ada yang berjiwa ksatria bertanggung jawab, bukan mencari-cari kambing hitam.(***)
Sumber
: Hariansib edisi cetak