Menyikapi Praktek Money Politic Dalam Pemilu 2024

Oleh: Ahmad Hajiddin Harahap, SH, MH

429 view
Menyikapi Praktek Money Politic Dalam Pemilu 2024
Istimewa
Ketua Bawaslu Kabupaten Labuhanbatu Selatan
POLITIK UANG (money politic) merupakan salah satu masalah yang kerap muncul dalam penyelenggaraan Pemilu, bahkan dapat dikatakan dalam penegakan hukumnya masih sering menuai kendala. Persoalan praktek money politic ini juga telah masuk menjadi salah satu Indeks Kerawan Pemilu (IKP) tahun 2024 yang dipetakan oleh Bawaslu.

Di kalangan masyarakat umum, banyak yang menganggap praktek money politic ini sebagai suatu kewajaran, karena di setiap pelaksanaan Pemilu, hal ini menjadi salah satu isu yang hampir selalu muncul hingga kini. Setidaknya ada beberapa kendala yang dihadapi dalam penegakan hukumnya, baik dari sisi substansi pengaturan atau norma hukumnya, unsur lembaga penegak hukumnya serta Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat yang merupakan target dari praktek money politic tersebut.

Sebagaimana prinsip penegakan hukum menurut Lawrence M. Friedman, sistem penegakan hukum harus memenuhi tiga unsur, yaitu substansi yang berkaitan dengan kaidah yang mengatur; struktur yakni berkaitan dengan lembaga yang mengawasi atau menegakkan hukumnya, dan kultur yaitu budaya yang hidup di masyarakat.

Khusus dalam penegakan hukum terhadap praktek money politic, norma aturannya telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), sedangkan dari unsur penegakan hukumnya yaitu melibatkan Bawaslu, kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam suatu wadah bernama Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), serta unsur masyarakatnya dalam menyikapi praktek money politic tersebut.

Celah Dalam Penegakan Hukum
Pemilu yang merupakan pesta demokrasi di Indonesia, yang juga menjadi ajang kompetisi dalam menentukan kursi kepemimpinan di lembaga eksekutif dan legeslatif tidak jarang memanfaatkan money politic demi tercapainya tujuannya.

Hal ini sebagaimana kasus pidana money politic yang masih tergolong tinggi, misalnya pada kasus-kasus terakhir dalam pelaksanaan Pemilukada tahun 2020 lalu, di mana berdasarkan data penanganan dugaan pelanggaran Bawaslu pada tanggal 17 Desember 2020, kasus money politic yang sedang ditangani oleh Bawaslu mencapai 262 kasus yang berasal dari laporan masyarakat dan temuan Pengawas Pemilu sendiri.

Dikatakan juga bahwa dari seluruh kasus tersebut, partisipasi masyarakat masih lebih tinggi, yaitu dengan laporan masyarakat 197 laporan, sedangkan selebihnya adalah 65 kasus merupakan temuan dari Bawaslu.

Tingginya partisipasi masyarakat tersebut sudah mempermudah penegakan hukum dalam penindakan praktek money politic dimaksud. Karena, praktek money politic ini kerap dilakukan dalam ranah tertutup, sehingga sulit terdeteksi, sehingga partisipasi masyarakat juga sangat diharapkan dalam penegakannya.

Namun demikian, sebagai upaya peningkatan efektivitas penegakan hukum money politic tersebut, kesinambungannya terhadap regulasi juga perlu diperbaiki. Untuk itu diperlukan suatu pembaharuan guna mengatasi celah-celah yang berpotensi dimanfaatkan dalam praktek money politic tersebut.

Dari sisi regulasi terkait money politic dalam Pemilu diatur dalam pasal 280, 284, 286 dan 523 UU Pemilu, namun yang menjadi subjek pelaku dalam pasal-pasal tersebut terbatas hanya menyasar orang tertentu saja, yaitu peserta Pemilu dan pelaksana, peserta, serta tim kampanye saja. Walaupun dalam pasal 515 telah diatur mengenai subjek yang mencakup setiap orang, namun terkait hal ini terbatas hanya pada waktu pemungutan suara saja.

Lalu bagaimana bila praktek money politic tersebut dilakukan oleh masyarakat umum di masa kampanye? Karena hal ini berkaitan dengan keterpenuhan unsur norma dalam regulasi UU Pemilu saat ini.

Hal ini yang kemudian menjadi celah dalam penegakan hukumnya, dikarenakan dalam pembuktian suatu tindakan pidana Pemilu harus memenuhi seluruh unsur yang telah diatur dalam regulasi tersebut. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan Sentra Gakkumdu harus terlebih dahulu memastikan keterpenuhan dari unsur tindak pidana money politic tersebut. Sehingga beberapa hal yang menjadi kendala dalam penegakan hukum pidana dalam kasus money politic yaitu;

Pertama, identifikasi terhadap unsur subjek pelaku dalam praktek money politic, berkaitan unsur tindak pidananya dalam regulasi mengenai subjek pelaku yang hanya terbatas pada peserta Pemilu dan pelaksana, peserta, serta tim kampanye kemudian mengenai batasan waktu kejadiannya yang menjadi celah dalam memenuhi unsur tindak pidana money politic.

Kedua, kesadaran masyarakat yang menjadi penentu money politic itu akan berhasil atau tidak, sehingga edukasi terhadap masyarakat terkait praktek money politic juga perlu dikampanyekan, sehingga tidak menganggap hal ini sebagai kewajaran dalam pelaksanaan Pemilu.

Langkah Pembaharuan Guna Menyikapi Money Politic
Penyelenggaraan Pemilu dengan penyelenggaraan Pemilukada menggunakan regulasi yang berbeda, hal ini juga berkaitan dengan penegakan hukum terhadap praktek money politic diantara dua rezim demokrasi tersebut.

Sebelum lahirnya UU Pemilu, pada tahun 2016 telah dilakukan perubahan ketiga terhadap UU Pemilukada, yaitu dengan UU No. 10 Tahun 2016, di mana dalam perubahan tersebut norma terkait larangan money politic sudah lebih baik. Namun norma tersebut belum diadopsi dalam norma di UU Pemilu, walaupun UU Pemilu tersebut lahir setelahnya.

Dalam pasal 73 dan 187A UU Pemilukada terkait larangan money politic tidak hanya terhadap orang tertentu saja, namun kepada setiap orang akan dijatuhi sanksi pidana Pemilu bila terbukti melakukan praktek money politic. Norma ini yang juga seharusnya diterapkan dalam pelaksanaan Pemilu.

Sehingga terkait norma dalam UU Pemilu tersebut perlu dilakukan pembaharuan, guna lebih memperluas siapa yang dapat dijadikan sebagai subjek pelaku dan perluasan waktu tindak pidananya dalam praktek money politic. Namun mengingat proses pembaharuan/perubahan terhadap regulasi saat ini baik itu melalui proses legislasi ataupun melalui upaya judicial review, sama-sama akan memakan waktu yang cukup lama.

Sehingga sebagai langkah konkret, dapat dilakukan upaya edukasi untuk mengubah kultur masyarakat dengan sosialisasi yang masif terkait larangan dan dampak dari praktek money politic terhadap demokrasi, karena penanggulangan praktek money politic ini bukanlah hanya menjadi kewajiban negara, namun diperlukan juga dukungan dari masyarakat sehingga tercipta demokrasi yang sehat di indonesia. (*)


Editor
: Donna Hutagalung
Segala tindak tanduk yang mengatasnamakan wartawan/jurnalis tanpa menunjukkan tanda pengenal/Kartu Pers hariansib.com tidak menjadi tanggungjawab Media Online hariansib.com Hubungi kami: redaksi@hariansib.com