Oleh: Jalatua H. Hasugian
Terbitnya Surat Edaran (SE) Wali Kota Nomor: 180/4335/VII/2022 tertanggal 21 Juli 2022 tentang Penulisan Kata Pematang Siantar tak perlu jadi polemik jika saja sebelumnya ada sosialisasi kepada masyarakat. Apalagi dalam SE yang ditandatangani Plt. Wali Kota, Susanti Dewayani ini tujuan surat disebutkan hanya kepada instansi internal Pemerintah Kota Pematang Siantar. Lantas bagaimana dengan instansi di luar pemerintahan serta masyarakat luas! Apa dasar atau acuan mereka untuk merubah kata Pematangsiantar menjadi Pematang Siantar?
Sebab kata Pematangsiantar sudah kadung selama ini familiar dan menjadi kolektif memori publik saat menuliskan nama kota warisan Kerajaan Siantar ini. Terutama kalangan pers atau jurnalis yang setiap saat bergelut dengan kata-kata, termasuk menuliskan Pamatang Siantar sebagai lokasi sebuah objek pemberitaan
Kita bukan alergi atau resisten terhadap sebuah perubahan, termasuk perubahan penulisan kota Pematangsiantar menjadi Pematang Siantar. Sepanjang urgensinya jelas, alasannya logis serta dasar hukumnya jelas tentu tak ada masalah. Apalagi jika sebelum resmi diberlakukan telah disosialisasikan lebih dahulu kepada khalayak. Setidaknya melalui media massa agar kesannya tidak terburu-buru atau mendadak. Meskipun memang pemerintah memiliki kewenangan untuk merubahnya, tetapi karena dampaknya mengena ke masyarakat luas, tentu tak elok juga jika membuat perubahan secara mendadak.
Selama ini masyarakat sudah terbiasa menulis Pematangsiantar digabung dalam satu kata, meskipun rujukan untuk itu juga mengambang. Entah sejak kapan penulisan Pematang Siantar dirubah menjadi Pematangsiantar, juga tak ada informasi dan rujukan yang jelas. Tetapi karena Pemerintah dan DPRD Kota Pematang Siantar sendiri selama ini menggunakan penyebutan Pematangsiantar dalam satu kata, masyarakat juga mengira bahwa hal itulah yang benar. Namun jika sekarang mendadak dikembalikan lagi menjadi Pematang Siantar, publik malah balik bertanya, jadi selama ini kita salah semua? Apalagi dalam SE terbaru ini alasan atau dasar pengembalian penulisan tersebut kurang tegas apa dasar hukum dan urgensinya.
Sebab jika mengacu pada UU Darurat Nomor 8/1956 tentang pembentukan daerah otonom di Sumatera Utara dan PP Nomor 15/1986 tentang perubahan batas wilayah, rasanya terlalu jauh rentang waktunya baru disadari untuk dilaksanakan sekarang. Apalagi alasan lain yang disebutkan dalam SE tersebut, yakni Hasil Fasilitasi Produk Hukum Daerah dari Biro Organisasi dan Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara tak jelas kapan dilakukan?. Hal ini yang menjadi tanda tanya publik, karena kesannya Pemko Pematang Siantar ragu-ragu atau setengah hati sehingga membuat kebijakan mendadak?.
Tak Konsisten Sejak Era Kolonial Belanda
Jika merujuk pada dokumen-dokumen yang terbit era kolonial Belanda, mereka juga kerap tak konsisten. Sebab ada yang memakai Pematang Siantar namun banyak juga memakai Pematangsiantar. Para pejabat Asistent Resident Afdeeling Simeloengoen en de Karolanden yang sekaligus juga merupakan Burgemester (Wali Kota) Pematang Siantar, seperti H.E.C. Quast (1915) dan Jan Tideman (1922) menulis Pematang Siantar dipisah. Namun Asistent Resident berikutnya, yakni H.E.K. Ezerman (1926) dan G.W.Meindersma (1938) menuliskan Pematangsiantar disatukan dalam laporan memori tugasnya (Memorie van Overgave). Persoalan tidak konsisten ini juga dilakukan sejumlah peneliti asing seperti Antony Reid (1987) yang menggunakan Pematang Siantar. Sedangkan R.William Liddle (1992) dan Daniel Perret (2010) menggunakan Pematangsiantar dalam menuliskan laporan penelitiannya.
Penulisan paling kacau pada sebuah dokumen resmi justru pernah dilakukan internal Pemko Pematang Siantar sendiri, yakni dalam Risalah Penetapan Hari Jadi Kota Pematang Siantar dan Perda Nomor 13/1988 tentang Hari Jadi Kota Pematang Siantar. Pada kop surat Wali Kota yang ditandatangani Djabanten Damanik, penulisan Pematang Siantar dipisah. Sedangkan kop surat pimpinan DPRD yang ditandatangani Laurimba Saragih penulisan Pematangsiantar disatukan. Uniknya, pada kolom penyebutan tempat sebelum tanda tangan masing-masing surat tersebut, keduanya ditulis Pematangsiantar, bukan Pematang Siantar. Sedangkan dalam kesleuruhan isi Risalah dan Perda tersebut, lebih banyak menggunakan Pematang Siantar dipisah.
Meski demikian jika ditelaah lebih jauh, kebanyakan dokumen-dokumen dari era kolonial sampai tahun 1990-an menggunakan Pematang Siantar. Termasuk dokumen korte verklaring (perjanjian pendek) antara pemangku Kerajaan Siantar dengan Belanda tahun 1888.
Demikian pula penulis dari kalangan etnik Simalungun sendiri, yang buku mereka banyak dirujuk seperti: M.D.Purba (1981), T.B.A Purba Tambak (1982), dan Jahutar Damanik (1987), lebih cenderung memisahkan penulisan Pematang Siantar. Pada buku Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah yang resmi diterbitkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (1994), penulisan Pematang Siantar juga dipisah.
Dari sejumlah rujukan dokumen maupun buku-buku sejak era kolonial Belanda tersebut, tampaknya penulisan Pematang Siantar atau Pematangsiantar sejak dulu tak terlalu dipusingkan apalagi dipersoalkan. Hal serupa juga terjadi selama ini, di mana tak terlalu ada yang memusingkan meskipun banyak dokumen resmi berbagai instansi menuliskan Pematang Siantar.
Hanya saja, selama ini dalam tata naskah dinas resmi yang diterbitkan Pemko Pematang Siantar, kata Pematangsiantar memang disatukan.
Bertolak dari fakta tersebut serta fenomena yang terjadi selama ini, memang sudah saatnya Pemko Pematang Siantar konsisten menuliskan nama kota Pematang Siantar sekaligus mensosialisasikannya kepada publik. Bukan hanya untuk konsumsi kalangan internal kedinasan semata. Apalagi dalam sebuah forum group discussion (FGD) tentang motto kota Pematang Siantar “Sapangambei Manoktok Hitei” di Universitas Simalungun April 2021 lalu, sudah mengemuka usulan agar penulisan Pematangsiantar dikembalikan jadi Pamatang Siantar. Usulan tersebut bahkan menjadi bagian dari rekomendasi FGD yang diterbitkan dalam bentuk buku, Bukunya bahkan telah diterbitkan dan sudah pula diserahkan ke Wali Kota maupun pimpinan DPRD Pematang Siantar. Sayangnya, Pemko Pematang Siantar tak merujuk pada hasil FGD ini, dan malah tiba-tiba langsung menerbitkan Surat Edaran.
Kebijakan Jangan Tanggung?
Dari aspek historisnya, Pematang Siantar merupakan dua kata yang berasal dari bahasa Simalungun, dan punya makna berbeda. Pamatang diartikan sebagai pusat kerajaan. Dalam Kamus Bahasa Simalungun (J.E.Saragih, 1981: 170) istilah “Pematang” berasal dari kata “Pamatang” yang salah satu pengertiannya adalah ibu kota atau kerajaan. Dengan demikian, “Pamatang” adalah sebuah lokasi atau daerah yang menjadi pusat pemerintahan (kerajaan) di wilayah Simalungun. Oleh karena itulah, bekas pusat kerajaan di Simalungun selalu didahului kata “Pamatang”, seperti Pamatang Raya, Pamatang Panei, Pamatang Tanah Jawa dan lain-lain. Namun sudah sejak lama pula dalam dokumen-dokumen kolonial, penulisan “Pamatang” lebih sering ditulis “Pematang”. Padahal jika merujuk kaidah bahasa Simalungun, harusnya ditulis Pamatang, seperti ibukota Kabupaten Simalungun, ditulis Pamatang Raya.
Sedangkan istilah ‘Siantar’ berasal dari bahasa Simalungun yang bermakna ‘terletak diantara’, yaitu dua perairan luas yakni ‘laut daur’ (Danau Toba) di sebelah selatan dan Selat Malaka di sebelah timur. Sebagaimana diketahui, wilayah Siantar berada di tengah-tengah desa induk (partuanon) Kerajaan Siantar yaitu Sipolha dan Sidamanik di arah selatan, Marihat di sebelah timur, Nagahuta di sebelah barat dan Dolog Marlawan, Bandar, Kota Padang dan Tanjungkasau di sebelah utara (Erond L. Damanik, 2020: 70).
Berdasarkan pengertian tersebut, jika Pemko Pematang Siantar benar-benar ingin mengembalikan penamaan pusat pemerintahannya sekaligus mengadopsi kultur lokal etnik Simalungun, penyebutan nama “Pematang Siantar” seharusnya dikembalikan ke “Pamatang Siantar”. Dengan demikian, legalitasnya tak cukup hanya sekadar Surat Edaran tetapi harus bentuk Peraturan Daerah, yang sekaligus menetapkan penamaan kelurahan maupun kecamatan menggunakan bahasa dan aksara Simalungun sebagai pemilik kultur asli kota Pematang Siantar. Tentunya akan lebih baik dan bijaksana jika didahului dengan kajian akademis, bahasa dan budaya dengan mengundang budayawan dan ahli bahasa Simalungun. Dengan demikian, kabijakan perubahan penamaan tersebut tidak sepotong-sepotong tetapi lebih komprehensif sehingga mendapat dukungan publik, bukan malah mengundang polemik. (Penulis, Dosen Universitas Simalungun).
Editor
: Bantors Sihombing