Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 13 November 2025

Kelompok DPD RI Kaji Keputusan MPR Nomor 8/2019

Redaksi - Jumat, 25 Maret 2022 11:48 WIB
337 view
Kelompok DPD RI Kaji Keputusan MPR Nomor 8/2019
(KOMPAS/PRIYOMBODO)
Ilustrasi : Suasana gedung MPR, DPR RI, Jakarta
Jakarta (harianSIB.com)
Kelompok DPD di MPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDPU) dalam rangka pendalaman materi terhadap pandangan DPD di MPR RI terhadap keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 tentang rekomendasi MPR Masa Jabatan 2014-2019, di Ruang Majapahit, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta,, Kamis (24/3/2022).

Ketua Kelompok DPD di MPR RI Tamsil Linrung mengemukakan, Kelompok DPD di MPR RI saat ini sedang melakukan kajian terhadap Keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 tentang Rekomendasi MPR RI masa Jabatan 2014-2019 yaitu Pokok-Pokok Haluan Negara, Penataan Kewenangan MPR, Penataan Kewenangan DPD, Penataan Sistem Presidensil, Penataan Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber hukum Negara dan Pelaksanaan permasyarakatan nilai Pancasila, negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika Serta Ketetapan MPR.

Senator asal Sulawesi Selatan itu mengakui DPD RI fokus pada pembahasan menyangkut tentang pelaksanaan Pemilu, khususnya pasal 6 UUD 1945 yang menyatakan tentang ketentuan Presidential Threshold (PT).

“DPD RI ingin agar persoalan yang menyangkut pasal dapat segera terselesaikan ,” ujar Tamsil seperti dilaporkan jurnalis Koran SIB Jamida Habeahan.

Senator asal DKI Jakarta Fahira Idris mengatakan kajian yang dilakukan oleh DPD di MPR RI terhadap rekomendasi MPR diharapkan bersifat komprehensif sebagai panduan bagi Kelompok DPD di MPR RI dalam menghadapi pembahasan di MPR yang rencananya akan dilaksanakan mulai April 2022.

Fahira menjelaskan bahwa penataan sistem presidensial sebagai salah satu aspirasi daerah dan masyarakat yang dilakukan oleh DPD di MPR RI, terdapat beberapa materi UUD NRI 1945 yang dianggap memiliki urgensi untuk dilakukan perubahan.

Salah satunya tentang meminimalisir adanya hegemoni Partai Politik dalam pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 secara tegas disebutkan bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dilakukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Hal ini disinyalir telah mengurangi hak warga negara untuk memilih.

Pengamat Hukum Tata Negara Zain Badjeber mengatakan, bahwa dalam menata kewenangan, yang harus dilihat pertama kali adalah kekuatan politik yang ada saat ini.

Hal ini diperlukan untuk mencermati perbedaan pendekatan politik saat ini dan masa sebelumnya.

Perubahan akan lebih baik dilakukan melalui revisi Undang-Undang karena apabila melalui revisi UUD 1945 maka prosesnya akan panjang.

Dikatakan, perubahan Undang-Undang adalah perubahan yang soft, sedangkan kalau melalui konstitusi jalannya lebih berkelok-kelok dan menggunakan silent operation.

“Kita fokus dalam keinginan dari DPD RI, bukan hanya membahas tetapi sampai menyetujui” ujar Zain Badjeber sambil menambahkan dalam menata kewenangan, perubahan dalam Undang-Undang Dasar, bisa menggunakan tafsir.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana I Dewa Gede Palguna menyatakan, perihal sistem presidensial, tidak ada ciri-ciri yang seragam dalam sistem pemerintahan di berbagai negara.

“Jika dimaksud dengan penataan sistem presidensial dalam TOR adalah melakukan (kembali) UUD 1945, saya kira tidak ada kebutuhan untuk itu. Juga suara-suara yang mengendaki penambahan masa jabatan Presiden lebih dari dua kali bukan kebutuhan melainkan sekedar keinginan elit," pungkas Udayana Dewa Gede. (*)

Editor
:
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru