Jakarta (SIB)
Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap perempuan-perempuan yang berstatus terpidana mati di Indonesia. Mereka disebut 'tersiksa' menunggu
eksekusi mati.
"Hasil kunjungan dan pemantauan memperlihatkan bahwa terdapat unsur-unsur penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia terutama dalam masa deret tunggu," kata Komisioner
Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi melalui Zoom Meeting, Kamis (4/7), seperti yang dilansir Koran SIB.
Menurut Satyawanti, total ada 15 perempuan dengan status terpidana mati di Indonesia yang tersebar di 9 lapas.
Komnas Perempuan sendiri disebut Satyawanti sudah melakukan pemantauan terhadap 14 dari 15 perempuan terpidana mati: 6 orang kasus pembunuhan dan 8 orang kasus narkotika.
Baca Juga:
Meski dijatuhi vonis mati, para terpidana itu, disebut Satyawanti, sudah menghuni sel puluhan tahun. Dari catatannya, para terpidana mati itu sudah menunggu waktu eksekusi selama 2 tahun sampai 22 tahun, melebihi batas maksimal pidana penjara di Indonesia yaitu 20 tahun.
"Dalam masa tunggu yang lama tersebut berdampak pada kondisi psikologis karena penantian panjang tanpa kepastian dalam proses upaya hukum yang lambat. Apalagi, dalam masa tunggu tersebut, para perempuan terpidana mati ini berada dalam lapas yang overkapasitas, fasilitas kebersihan dan kesehatan terbatas, serta tidak tersedia layanan kesehatan mental yang memadai," tuturnya.
Baca Juga:
"Hal ini memperberat kondisi dan penderitaan psikologis yang dialami oleh perempuan terpidana mati dan dapat dianggap sebagai bentuk penyiksaan dan diskriminasi terhadap martabatnya serta perampasan hak asasi manusia," imbuh Satyawanti.
Berkaitan dengan hal itu,
Komnas Perempuan pun memberikan sejumlah rekomendasi sebagai berikut:
1. DPR RI tidak mengeluarkan kebijakan dalam bentuk undang-undang (UU) yang memuat penyiksaan dan hukuman mati.
2. Presiden Republik Indonesia mengeluarkan peraturan/kebijakan terkait pelaksanaan komutasi yang telah diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memberikan grasi terhadap para perempuan terpidana mati yang berada dalam deret tunggu hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan membuat kebijakan mengenai mekanisme penilaian terhadap para perempuan terpidana mati di tingkat lapas sehingga presiden memiliki bahan pertimbangan dalam memberikan grasi terhadap perempuan terpidana mati.
3. Kejaksaan Agung mengeluarkan kebijakan internal kejaksaan dalam upaya pencegahan penyiksaan dan penghapusan pidana mati dengan tidak melakukan penuntutan pidana mati dan tidak melakukan eksekusi pidana mati terutama terhadap para perempuan terpidana mati yang berada dalam deret tunggu untuk mencegah penyiksaan dan penghapusan pidana mati.