Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 27 Agustus 2025

Generasi Muda Penyubur Kemajemukan

Oleh: Pdt.Estomihi Hutagalung, MTh
- Minggu, 06 April 2014 22:42 WIB
729 view
Generasi Muda Penyubur Kemajemukan
Salah satu  implikasi sosio politik atas pemaknaan demokrasi dengan pendekatan civic culture pada elemen toleransi gagasan Almond dan Verba (1963) akan membantu kita memaknai pernyataan Prof. Mahfud MD dan Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Said Aqil Siradj  dalam Sambutan dan Ceramah di hadapan lebih dari seribuan pemuda Gereja, pemuda Muhammadiyah dan generasi muda NU, pada kegiatan Kemah Pemuda Kebangsaan (21-23/3) di Kampus FKIP HKBP Nommensen Pematang Siantar.

"Musuh kita adalah mereka yang tamak dan serakah yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Dan kaum pemuda jangan mau terpecah belah hanya karena urusan suku, ras, dan agama dan marilah kita bersatu, karena sesungguhnya bangsa kita yaitu bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan menghargai antar sesama manusia" ujar Mahfud MD  dan…. "Radikalisme hanya akan berdampak kepada perpecahan bangsa.  Islam tidak mengajarkan pemuda untuk bersifat radikal," kata KH Said Aqil (Koran SIB, Minggu (23/3, hal. 5).

Afirmasi demikian didasarkan pada pentingnya kehidupan berbangsa yang di bingkai dalam kemajemukan agama, suku, budaya dan etnis serta dimaknai dalam konteks pergulatan relasi sosial kebangsaan Indonesia dengan dinamika politiknya. Sehingga, kemajemukan tersebut harus dijadikan sebagai modal dan kekuatan besar dalam kesinambungan kebangsaan Indonesia menuju cita-cita konstitusional merdeka.

Dinamika Sosial
Salah satu tugas mendesak kebangsaan yang sudah diwariskan sejak masa pra kemerdekaan Indonesia, yaitu pentingnya jaminan dan praktek hidup masyarakat yang rukun, makmur, adil, dan damai sejahtera. Dan di dalam perjalanan dinamika kebangsaan, ternyata wajah sosial bangsa ini masih ditandai dengan menguatnya sikap intoleransi. Dinamika sosial demikian semakin memperburuk relasi kebangsaan dalam bingkai lemahnya peran pemerintah.

Wajah kebangsaan kita ditandai rasa curiga dan merasuk pada praktek kepemimpinan pemerintahan. Setidaknya, kasus Lurah Susan di Jakarta menjadi acuan. Dan kebencian itu dirasa benar atas pembacaan teks keagamaan serta seruan pemimpin agama yang berjiwa sektarian. Sehingga terjadilah kekerasan berjubah agama, penutupan gedung gereja. Atas nama agama kekerasan dihalalkan, penindasan umat minoritas dianggap benar atas nama mayoritas.

Di sisi lain, umat beragama yang berbeda ternyata hidup sangat toleran. Setidaknya, relasi kebangsaan sebagaimana dilakukan oleh Banser NU dengan pemuda gereja dalam menjaga gedung gereja pada kegiatan Natal atas kasus "Bom Natal", menjadi pertimbangan untuk memaknai toleransi beragama. Dan kesadaran nasionalisme serta aplikasi nilai agama tersebut menjadi salah satu hal yang ingin dicapai dalam kegiatan Kemah Pemuda Kebangsaan.

Gereja yang Inklusif

Bagaimanapun juga, ekspektasi nilai sosial beragama sebagaimana tujuan kegiatan pemuda tersebut adalah "kecambah" yang harus dirawat gereja (setiap agama) sehingga bertumbuh subur dan di kemudian hari membuahkan masyarakat adil, makmur, damai sejahtera. Maka pada kesadaran demikian, gereja dalam konteks sosialnya yang plural dalam kemajemukan, telah memaknai panggilannya untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah.

Tetapi ekspektasi sosial keagamaan demikian tidak boleh dianggap sebagai keyakinan yang bebas nilai. Sebab dalam prakteknya, dalam setiap agama (gereja) selalu ada sikap eksklusifisme, merasa diri sebagai yang paling benar dan umat lain adalah sesat. Lalu akhirnya, sebagaimana dalam sejarah (Konsili Vatikan), gereja menjadi bersikap inklusif yaitu mengakui dan menghargai perbedaan agama.

Dan nilai-nilai inklusif, nilai toleransi demikianlah yang harus terus menerus diajarkan kepada para pemuda gereja. Mereka adalah manusia yang cepat menangkap nilai dan bersifat progresif serta "gampang diprovokasi". Jika lembaga gereja, lembaga sosial selalu mendorong anak muda pada nilai yang baik, maka hal itu akan melahirkan generasi muda yang  menghargai dan menyuburkan perbedaan. Lalu di kemudian hari akan membuahkan nilai-nilai kerajaan sorga, yaitu adil makmur dan damai sejahtera.

Kemajemukan Berkelanjutan
Sebagai generasi muda dengan segala potensi yang dapat bersifat konstruktif maupun destruktif, gereja (agama) harus terus mencari momen maupun media guna menyuburkan sikap toleransi beragama di dalam diri pemuda tanpa kehilangan jati diri sebagai seorang pengikut Yesus. Dan pada kesadaran demikian, generasi muda perlu diberi pengajaran akan nilai-nilai agama yang berwajah pluralis.

Penyuburan peradaban demikian akan membuahkan masyarakat konstruktif sehingga perbedaan-perbedaan agama, dapat menjadi modal besar dalam meningkatkan partisipasi umat beragama pada negara dan berujung pada adanya respon positif atas program-program pemerintah. Hasilnya akan membuahkan masyarakat rukun, adil, makmur dan damai atas spirit perbedaan. Itulah juga bagian dari makna tugas gereja dalam menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah.

Maka pada titik itulah kita berharap agar momen kebersamaan sesama anak bangsa yang berbeda-beda tersebut kiranya dapat dilanjutkan dengan melibatkan generasi muda dalam jumlah yang lebih besar tanpa kehilangan esensi momentum tersebut. Dan itu juga berarti, pemerintah dengan kementerian agama, pemuda dan sosial menjadi pihak yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan momen berkelanjutan tersebut. Semoga. (d)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru