Surabaya (SIB)
Pandemi Covid-19 menjadi cerita menakutkan bagi penduduk bumi sejak munculnya pada akhir 2019 lalu di Wuhan, China. Umat manusia berkabung lantaran pandemi ini terus memakan korban dari hari ke hari. Sebagai manusia kita tentu mengalami rasa duka, sedih dan takut.
Tetapi selalu ada hal positif di balik krisis. Kita melihat solidaritas sosial dan kepedulian tumbuh di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Setiap orang berusaha untuk saling menjaga, membantu dan bergerak bersama-sama dengan melupakan perbedaan agama, suku atau ras.
Kita juga melihat keteladanan luar biasa yang ditunjukkan oleh mereka-mereka yang terlibat langsung di garis depan: para dokter, perawat, pemerintah, relawan, dan komunitas-komunitas kemanusiaan lainnya. Dari mereka kita belajar soal pengorbanan dan keberanian untuk tetap melayani meski banyak hal yang harus dikorbankan.
Cerita keteladanan demikian tentu bukan baru muncul di saat ini. Sejarah berkisah banyak tentang keteladanan para tokoh-tokoh hebat di masa lalu. Dalam konteks kekatolikan, kita menemukan keteladanan santo dan santa yang sungguh mengabdikan diri pada pelayanan orang sakit, kecil, terpinggirkan, dan lemah. Salah satunya ialah Santo Vincentius de Paul.
Santo Vincentius semasa hidupnya telah memperjuangkan hidup kaum miskin dan senantiasa melayani mereka. Berkat keteguhan hati dan cintanya dalam melayani kaum miskin, ia pun dijuluki sebagai “Bapak Orang Miskinâ€. Ia pernah berkata: “Kalau menyangkut kemuliaan Allah dan keselamatan orang miskin kita tidak boleh takut untuk mengatakan kebenaranâ€.
Keteguhan ini patut diteladani untuk kita saat ini. Pada masa pandemi ini, dengan meneladani St. Vincentius, kita bisa belajar menjadi berkat bagi sesama, terlebih bagi mereka yang lemah dan yang terkena dampak pandemi dalam berbagai bentuk, penderitaan fisik, ekonomi dan sosial.
Ada lima nilai yang dapat kita teladani dari sosok Santo Vincentius. Kelima nilai itu sering disebut Lima Keutamaan Vinsensian: kesederhanaan, kerendahan hati, kelembutan hati, mati raga, dan semangat menyelamatkan jiwa-jiwa.
Pertama, kesederhanaan. Menurut St. Vincentius, kesederhanaan itu pertama-tama berarti mengatakan kebenaran. Demi memperjuangkan kehidupan kaum miskin kita harus berani menegakkan kebenaran, bukan malah menutupinya. Mengatakan kebenaran merupakan suatu wujud dari hidup sederhana.
Kedua, kerendahan hati. Bagi St. Vincentius, kerendahan hati merujuk pada pemahaman bahwa kita hanyalah ciptaan-Nya yang kecil bahkan hina di hadapan Allah yang Mahabesar. Keutamaan ini menyadarkan kita untuk mengerti posisi kita dalam relasi dengan Tuhan. Bahwa kita hanyalah ciptaan dan Tuhanlah pencipta. Pemahaman ini membantu kita untuk lebih rendah hati dan tahu bersyukur atas segala berkat dan karunia yang diberikan-Nya.
Wujud kerendahan hati yang dapat kita lakukan di masa pandemi adalah mengakui kelebihan dan juga kekurangan diri kita masing-masing, entah secara fisik maupun psikis. Terlebih di masa pandemi ini, kita memiliki lebih banyak waktu berada di rumah untuk merenung, memberi perhatian untuk keluarga, mendengar penuh perhatian cerita atau sharing anak-anak, istri dan suami dan anggota keluarga yang lain, serta mengakui kesalahan dengan meminta maaf.
Ketiga, kelembutan hati. Menurut St. Vincentius, kelembutan hati adalah sikap mencintai dan mengasihi sesama kita. “Inilah kasih itu : Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita …†(1Yoh 4:10). Lewat perikop ini, Tuhan mengajarkan kepada kita untuk mengasihi sesama kita, bahkan musuh kita sendiri.
St. Vincentius menekankan bahwa tanda kita mengasihi Allah yakni dengan memberi waktu dan ruang dalam hati kita untuk merasakan kasih-Nya. Salah satu bentuk dari kelembutan hati di masa sulit ini adalah dengan mengingatkan sesama kita dan orang-orang terdekat untuk selalu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Perhatian dan kepedulian yang kita berikan pada mereka adalah bentuk dari cinta kasih terhadap sesama.
Selain itu, kita juga bisa berbagi kepada mereka yang paling rentan dan sangat membutuhkan, seperti tukang becak dan tukang ojek. Aksi nyata berbagi cinta kasih yang dapat dilakukan seperti membagikan masker gratis, sosialisasi pencegahan virus, atau bahkan membagikan sembako.
Keempat, mati raga. Mati raga yang dimaksud bukan berarti mati secara fisik, tetapi memperteguh hati dengan menahan keinginan atau nafsu kita akan hal-hal duniawi. Mati raga merupakan perbuatan menyangkal hal-hal yang disukai oleh kodrat kita. Dengan mati raga, kita berusaha untuk menahan keinginan duniawi dan lebih mendekatkan diri ke Tuhan.
Bentuk mati raga yang dapat kita lakukan selama masa pandemi ini adalah menahan diri untuk tidak bepergian, bertemu teman-teman, atau mengunjungi tempat-tempat umum. Kita ikut berperan dalam mengurangi angka penyebaran virus Covid-19 di Indonesia. Kita tentu merasa tidak nyaman saat kita harus menahan rasa rindu dengan orang-orang terdekat kita, tetapi demi alasan kesehatan dan keselamatan bersama, kita perlu menahan diri.
Kelima, semangat menyelamatkan jiwa-jiwa. Keutamaan ini berarati semangat menyelamatkan umat manusia yang tersesat dan menariknya kembali ke dalam hubungan yang benar dengan Tuhan. Dengan kata lain, semangat menyelamatkan jiwa-jiwa merupakan semangat pertobatan.
Di masa pandemi ini, banyak orang mengalami kesusahan, kecemasan, hilang harapan bahkan mungkin tidak lagi berdoa kepada Tuhan. Kenyataan seperti ini mengundang kita untuk menyadarkan mereka lewat aksi nyata untuk saling menguatkan, memberi peneguhan, sharing iman dan saling berdoa agar mereka sungguh-sungguh merasakan kasih dan penyertaan Tuhan.
Akhirnya, kelima keutamaan St. Vincentius ini menjadi inspirasi bagi untuk tetap melayani di tengah pandemi. Berkarya bagi kemanusiaan dan terus merawat harapan menjadi pemenang kehidupan. (Katoliknews.com/c)