Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 28 Agustus 2025

“Nama-Nya, Imanuel“ (Matius 1 : 18-25)

Oleh Pdt Dr Andar Gomos Pasaribu (Pendeta HKBP di UEM, Jerman)
Redaksi - Minggu, 27 Desember 2020 09:43 WIB
1.343 view
“Nama-Nya, Imanuel“ (Matius 1 : 18-25)
Foto: Dok/Pdt Dr Andar Gomos Pasaribu
Pdt Dr Andar Gomos Pasaribu
Peristiwa inkarnasi dalam Injil Matius 1:18-25 ini bukanlah percakapan antara malaikat dengan Maria, melainkan dengan Yusuf. Penulis Matius merupakan seorang Kristen Yahudi, yang memberitakan peristiwa kelahiran dengan menekankan peranan garis ayah (Patrilineal). Maka Natal adalah peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia.

Kelahiran Mesias adalah Pertama, kisah kekhawatiran. dan kedua, sikap keberanian. Pertama, kisah kekhawatiran dapat ditemukan pada ayat 18, mengatakan: “Pada waktu Maria, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.” Ketika itu Yusuf sama sekali belum tahu bahwa Maria mengandung oleh Roh Kudus. Yusuf tentu mengalami kebimbangan untuk menjelaskan kepada orang lain tentang kehamilan tunangannya, Maria. Yusuf tengah mengalami stress berat akibat kabar surgawi tersebut sehingga di ayat 19, ia berencana untuk menceraikan tunangannya diam-diam. Untungnya, malaikat menyadari bahwa Yusuf sedang galau dan lantas mengatakan: “Yusuf anak Daud janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”.

Kita pun saat ini berada dalam situasi seperti yang dialami Yusuf ribuan tahun silam. Dunia tertekan oleh pandemi Covid-19 yang telah menewaskan lebih dari satu juta penduduk dunia, resesi besar-besaran yang juga memukul perekonomian negara-negara maju.

Jerman sendiri dengan kecanggihan teknologi kesehatannya harus melakukan Lockdown hingga bulan Januari 2021 karena kekhawatiran akan sistem kesehatan mereka yang bisa ambruk setiap saat. Peribadahan gereja di Jerman dihentikan yang tentu akan berpengaruh negatif terhadap kondisi keuangan gereja. Kecanggihan teknologi kedokteran seolah tidak berdaya menghadapi virus mungil ini. Namun inilah sesungguhnya peristiwa Natal, peristiwa dimana ketakutan, kecemasan dan keputusasaan berbaur menjadi satu. Karenanya, jangan pernah ada pikiran seolah-olah Allah menghukum kita melalui Covid-19 sehingga kita tidak bisa bernatal seperti biasanya. Natal sendiri adalah peristiwa inkarnasi Allah dalam sepi, ketakutan Yusuf sang ayah, dan sang ibu Maria yang harus menahan sakit saat kehamilannya.

Kedua, sikap keberanian Yusuf dalam ayat 23-24, "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel", yang berarti: Allah menyertai kita. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya“. Kata „Imanuel“, artinya, Allah menyertai kita. Penekanan “Imanuel (penyertaan Allah)” menjadi fokus. Dalam berbagai kisah Alkitab, konteks Allah menyertai umat-Nya menjadi sebuah tema utama hubungan antara Allah dengan umat yang dikasihi-Nya, Allah menyertai umat Israel dalam perjalanan padang gurun selama 40 tahun hingga memasuki tanah perjanjian.

Dalam hal ini, penyertaan Allah bukan berarti perjalanan umat-Nya menjadi mudah atau terhindar dari marabahaya. Penyertaan Allah bersifat penguatan, penghiburan, dan pengajaran agar umat tetap taat dan bersyukur ketika perjalanan itu tiba pada tujuan. Seorang teolog Lutheran Jerman, Dietrich Bonhoeffer yang tewas dihukum gantung oleh rezim NAZI pada tahun 1945, senantiasa merasakan pengalaman rohani bersama dengan Tuhan meskipun ajal kematian sudah di pelupuk mata. Dalam sebuah surat yang dituliskannya kepada tunangannya dari dalam penjara bawah tanah di Berlin, Jerman, ia bertutur: „Und reichst du uns den schweren Kelch, den bittern des Leids, gefüllt bis an den höchsten Rand, so nehmen wir ihn dankbar ohne Zittern aus deiner guten und geliebten Hand“ (Artinya, dan bahkan jika Engkau memberikan gelas kesulitan, kepahitan penderitan yang terisi hingga penuh, kami akan menerimanya dengan ucapan syukur tanpa gemetar dari tanganMu yang baik dan penuh kasih).

Menurut pemahaman Bonhoeffer, Allah tetap baik dan penuh kasih menyertai kita dalam menyusuri kehidupan yang penuh dengan kepahitan dan kepanikan. Seperti pengalaman Bonhoeffer inilah makna Natal yang sesungguhnya. Pandemi ini memang belum berakhir, kondisi kesehatan yang melemah karena usia dan penyakit kronis, kondisi keuangan yang semakin mencemaskan, namun di saat-saat sulit seperti ini, Imanuel menjadi wujud pengharapan yang melegakan dan dinamis. Dalam pengharapan itu, Yusuf diminta oleh malaikat mengambil sebuah keputusan berani dan penuh resiko, yaitu mengambil Maria sebagai istrinya. Dalam pengharapan bersama Tuhan, kita bukan tinggal dalam zona pasif namun justru semakin berani untuk melangkah walaupun dengan air mata.

Allah tetap menyertai kita, bukan hanya ketika melewati masa-masa kelam ini. Ia tetap menyertai hingga bayi Natal itu lahir sampai kemudian mati namun bangkit dari kuburNya. Tanpa Maria yang kesakitan saat mengandung, bayi itu tidak akan lahir; tanpa ketakutan Yusuf maka Yesus tidak akan memiliki ayah di bumi, kandang yang dingin dan sepi ternyata tidak menghalangi rencana Allah untuk datang ke dunia. Tanpa penyaliban dan kematian tidak ada kebangkitan. Ingatlah kata „Imanuel“ ketika kita menghadapi penderitaan, kesusahan atau perjuangan apapun. Sebab Allah akan memberikan kepada kita kekuatan dan semangat yang baru untuk terus melangkah. Badai kehidupan pasti akan berlalu. Percayalah. Amin!

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru