Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 09 Juli 2025

Paskah Pengharapan di Tengah Pandemi

( Yesaya 25 : 6 - 9; 1 Korintus 15 : 1 - 11; Yohanes 20 : 1 - 18)
Redaksi - Minggu, 04 April 2021 09:34 WIB
1.097 view
Paskah Pengharapan di Tengah Pandemi
Foto Istimewa
Pdt Dr Luhut P Hutajulu
Kebangkitan Kristus adalah pondasi iman kita, Dia benar-benar mati dan karenanya benar-benar bangkit. Bersama kebangkitan Kristus, iman kita pun turut dibangkitkan. Sama seperti Yesus menyapa Maria secara personal, kuasa kebangkitan-Nya juga berlaku bagi kita secara personal pula. Namun, kebangkitan Kristus ini tidaklah bersifat eksklusif, karya keselamatan Allah dalam kebangkitan Kristus juga bersifat universal. Dia menderita, mati dan bangkit untuk keselamatan dan keutuhan segala ciptaan. Oleh sebab itu, penghayatan akan kebangkitan Kristus harus membawa keterbukaan dan penerimaan universal, bukan penghakiman. Perayaan akan kemenangan Kristus harus membawa kita berjumpa secara personal dengan Tuhan dan membawa berita penting pada dunia: "Aku telah melihat Tuhan!"
Saudara-saudara yang terkasih, harapan seringkali menjadi alasan bagi kita untuk terus berjuang dan berusaha meskipun sedang ada dalam masa krisis dan kritis. Di dalam bacaan Yesaya 25:6-9, Kerajaan Yehuda juga pernah ada dalam masa krisis karena ancaman Kerajaan Asyur yang besar dan kuat. Di atas kertas, Yehuda pastilah tak akan menang jika melawan Asyur. Namun, justru dalam kondisi krisis inilah mereka memelihara pengharapan pada Allah. Mereka percaya bahwa hanya Allah yang menjadi tempat perlindungan mereka. Dalam tulisannya, Yesaya mengajak Yehuda untuk turut dalam pesta ilahi di Gunung Sion (25:6). Penyebutan Sion dalam bagian ini menarik, karena secara tidak langsung mengajak pembacanya saat itu untuk membandingkannya dengan gunung suci yang lain, yaitu Sinai.

Berbeda dengan Gunung Sinai yang mewakili sifat "ekslusif" karena hanya berlaku untuk Musa dan para tua-tua Israel bnd. Kel 24:9-11 (Sinai bersifat partikular), Gunung Sion justru disebut sebagai tempat segala bangsa dapat menikmati perjamuan dengan masakan yang bergemuk dan anggur yang tua benar (universal). Demikianlah, di tengah krisis yang mencekam, para umat pilihan diajak untuk berpengharapan hanya Tuhan yang menjadi sumber keselamatan. Bukan hanya keselamatan partikular dan personal, namun juga terutama keselamatan universal.Dalam teologi Paulus, karya keselamatan universal terjadi dalam diri Kristus yang benar-benar mati dan benar-benar bangkit. Penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya bukanlah isapan jempol karena telah disaksikan sendiri oleh para rasul. Jemaat di Korintus yang menyangsikan kebangkitan tubuh, diingatkan dengan keras oleh Paulus. Sang Rasul juga menunjukkan bahwa dirinya yang tadinya paling hina karena menganiaya jemaat Tuhan, justru kini beroleh karunia untuk bekerja mengabarkan injil. Pengharapan, hanya bisa diletakkan pada kebangkitan.

Harapan juga memampukan Maria Magdalena untuk berjalan sendirian keluar kota Yerusalem dan mengambil resiko besar untuk merempahi jenazah Yesus. Tapi, harapan itu hambar saat ia menemukan kuburnya kosong. Maria Magdalena kehilangan harapan, apalagi saat dua murid lain, Petrus dan Yohanes, yang ia harap dapat menemukan jawaban atas hilangnya Yesus justru meninggalkannya sendirian. Yang bisa dilakukan Maria, hanyalah menangis putus asa. Tangisan Maria ini ternyata bersumber dari kelirunya meletakkan pengharapan. Ia berharap berjumpa mayat, tapi saat berjumpa Dia yang hidup, Maria tak mampu mengenali-Nya. Ia berharap menemukan kematian, tapi saat menemukan kebangkitan, Maria tak mampu mengenali-Nya. Kesedihan dan kehilangan menjadi pusat hidup Maria Magdalena sampai Kristus sendiri yang menyebut namanya dengan lembut, "Maria". Dengan sapaan personal inilah, Maria Magdalena diubahkan. Pengharapannya kembali muncul dan kepercayaannya kembali kuat. Karena itu, meski pasti lelah karena sudah berjalan bolak balik, Maria tetap bangkit, menuju Yerusalem Kembali dengan membawa kesaksian besar: "Aku telah melihat Tuhan" Orang-orang pertama yang menerima kabar bahwa Tuhan Yesus sudah bangkit adalah beberapa perempuan. Perempuanlah yang menjadi saksi pertama kebangkitan Yesus Kristus.

Situasi kita sekarang merayakan paskah tahun 2021 ini dalam kondisi krisis dan kritis pastilah terjadi dalam hidup kita, entah bagaimanapun bentuknya. Di hari Paskah ini, marilah kita syukuri karya penyelamatan universal Allah dalam kebangkitan Yesus. Dia menderita, mati dan bangkit untuk keselamatan dan keutuhan segala ciptaan. Oleh sebab itu, penghayatan akan kebangkitan Kristus harus membawa keterbukaan dan penerimaan universal, bukan penghakiman. Perayaan akan kemenangan Kristus harus membawa kita berjumpa secara personal dengan Tuhan dan membawa berita penting pada dunia: "Aku telah melihat Tuhan!"

Di tengah pandemi ini orang memang bisa kehilangan pengharapan. Terutama mereka pedagang kecil, tukang ojek, ojek online, sopir taksi, penjual asongan. Pandemi selain menyebabkan orang sakit juga menyebabkan orang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Oleh karena itu banyak orang berharap dan membawa dalam doa mereka agar pandemi ini segera berakhir. Meski kita tidak tahu kapan semua orang bebas beraktivitas kembali. Anak-anak kembali bebas bersekolah dan orang bisa mencari nafkah dengan leluasa kembali. Di tengah segala kerapuhan manusia ini kita merayakan Paskah. Kebangkitan Yesus menjadi harapan bagi para murid yang kecewa dan sakit hati karena Tuhan yang mereka sembah dan junjung tinggi wafat. Namun kini kematian Yesus yang karena "ugal-ugalan" bangsa Yahudi menjadi pengharapan bangsa- bangsa di dunia. Mereka pun sempat tercerai berai dan kehilangan pengharapan. Namun Paskah membuat harapan yang luluh lantak itu kembali bersinar. Paskah membuat harapan yang sempat memudar itu timbul kembali. Begitu juga pada saat pandemi ini. Ketika Yesus yang mati membawa harapan akan kebangkitan, begitu juga pandemi Covid ini akan berakhir. Kita memiliki harapan agar kematian dan kesengsaraan karena pandemi ini segera teratasi. Tak ada cara selain kita membangun harapan yang besar kepada Tuhan.

Menempatkan pandemi ini dalam rangkaian renungan Paskah kiranya paralel. Justru pada saat ini ketika segala sesuatu dilakukan dari rumah lebih banyak tersedia kesempatan untuk masuk ke dalam kedalaman hidup yang sejati. Kita akan lebih dekat dengan Tuhan dalam kepasrahan total. Berhadapan dengan pandemi kita dihadapkan dengan realitas tidak ada seorang pun yang merasa amat istimewa di hadapan Allah. Hanya kepada Allah akhirnya semua bersandar dan berpengharapan. Tentu tidak akan berakhir dengan sendirinya tanpa kepatuhan dan ketaatan kita. Kita berharap pandemi segera berakhir tetapi tidak memakai masker ketika keluar rumah, tidak menghindari kerumuman dan tidak setia di rumah, maka harapan itu akan sia-sia belaka. Marilah dengan semangat perayaan Paskah kita semakin kencang berdoa, mematuhi anjuran pemerintah, menjaga diri secara benar karena itulah yang akan menyelamatkan. Justru pada saat pandemi merebak ini kesungguhan kita menghayati kehidupan sungguh diharapkan.

Kita diajak untuk melihat kembali betapa berharganya anugerah hidup yang diberikan Tuhan kepada kita. Dalam situasi pandemi, sapaan Allah begitu terasa dan menggetarkan. Selamat merayakan Paskah di tengah pandemi Covid. Tuhan memberkati. (d)

Sumber
: Hariansib.com edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru