Oleh : Noel Harapan Mendrofa
Setiap kita manusia pasti merasakan capek. Entah itu capek bekerja, capek menanggung sesuatu, capek meluapkan emosi, dan lain-lain ; apapun kegiatan yang membuat badan kita bergerak pasti akan merasa capek pada waktunya. Disela-sela merasakan kelelahan kita, sembari istirahat kita tidak mungkin untuk tidak mengatakan, “aku capek...” atau “aku lelah...” sebagai ungkapan bahwa kita benar-benar sedang merasakan capek. Tetapi dari kalimat ini, mari kita flashback sejenak.
Bila kita mengulas kembali kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa di dalam Kejadian 3, rasa capek ini sudah menjadi bagian dari konsekuensi yang diberikan TUHAN Allah ketika Adam dan Hawa sebagai orang pertama dalam peradaban manusia jatuh ke dalam dosa. Adam diberi hukuman yakni dengan bersusah payah untuk mencari nafkah seumur hidupnya, dan Hawa juga diberikan hukuman, yaitu dengan bersusah payah ; bahkan dengan kesakitan ia mengandung dan melahirkan. Dan inilah yang ditanggung dan dirasakan oleh setiap manusia seumur hidupnya sampai mati.
Di zaman sekarang, orang percaya pun tidak luput dari rasa capek terhadap apa yang ditanggung oleh Adam dan Hawa. Memang orang percaya secara status sudah dikuduskan ketika menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tetapi secara kondisi masih perlu menyesali dosa setiap hari dan bertobat. Jadi tidak tertutup kemungkinan untuk mengungkapkan rasa capek dan lelahnya.
Tetapi, dari semuanya ini mari kita berpikir. Siapakah yang lebih capek? Apakah Allah dengan gelarnya sebagai yang berdaulat atau kita manusia yang megalami kedaulatan Allah itu sendiri?
Di dalam nats ini, kita melihat bagaimana TUHAN Allah melalui nabi Mikha menyampaikan gugatannya terhadap bangsa Israel (Yehuda) untuk mendukung penghakimanNya. Karena yang namanya gugatan bermakna tidak senang atau tidak puas, apa yang membuat TUHAN Allah berbuat demikian? Tentunya semua karena tingkah laku bangsa Israel yang menyimpang terhadap apa yang dituntut TUHAN Allah dari mereka.
Sehingga dari tindakan tersebut, secara tidak langsung mereka mau mengatakan, “kami capek mengikut TUHAN!...” Apa respon TUHAN Allah terhadap hal ini? Dari ungkapan yang tidak langsung tersebut,TUHAN Allah menjawab (ayat 3-5) dengan mengatakan, “ Pernahkah Aku membuatmu lelah? Bagaimana dengan campur tanganKu, ketika Aku menuntun engkau keluar dari tanah Mesir, menyelamatkan engkau dari kutukan Balak, raja Moab itu ; serta mendidikmu di segala macam situasi dari Sitim sampai ke Gilgal?
Apakah hal itu tidak mempermudah kalian sama sekali, hai bangsa Israel?” Lebih jauh lagi, sejak awal TUHAN Allah hanya menuntut bangsa Israel untuk berlaku adil, setia dan rendah hati (ayat 8), nyatanya hal tersebut pun tidak dilakukan mereka. Mereka hanya fokus menyembah TUHAN Allah sebatas seremonial semata melalui persembahan yang mereka berikan (ayat 6-7). Dari semua bukti ini, siapa yang lebih capek? TUHAN Allah!
TUHAN Allah capek melihat bangsa Israel yang selalu berbuat apa yang jahat di mataNya meskipun setiap firman yang bermakna perjanjian dan peringatan selalu disampaikan kepada mereka, bahkan juga dengan perantaraan para nabi di zaman itu. Apa yang dilakukan oleh bangsa Israel di Yerusalem tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manusia saat ini, dimana di zaman sekarang, manusia hanya mementingkan penyembahan kepada Tuhan yang sebatas seremonial semata tetapi tidak dengan gaya hidup sehingga ketika kita ditimpa sesuatu, mudah bagi kita mengatakan “aku capek mengikut Tuhan”. Namun, sering sekali kita lupa bahwa secara logika, Allah lebih capek melihat kita yang selalu melakukan apa yang jahat di mataNya.
Sekalipun secara logika Allah lebih capek dengan setiap apa yang dilihatnya dari tingkah laku manusia serta setiap apa yang Ia kerjakan, tetapi hanya karena kasihNya Allah masih mau untuk mendidik kita dalam kebenaran ; bahkan lebih dari itu Ia sangat mengasihi kita. Bila kita melihat bagaimana karya keselamatan manusia dikerjakan melalui pengutusan Yesus ke dalam dunia, ada banyak hal di dalam Injil yang merepotkan terjadi ketika Ia mengambil rupa manusia.
Sejak lahirNya Ia berusaha dibunuh oleh raja Herodes, ketika Ia sudah dewasa dan bisa mengajarpun Ia tetap ditolak oleh orang-orang, bahkan di saat-saat terakhirnya pun Ia difitnah dengan dakwaan palsu yang pada akhirnya menyebabkan Ia disalibkan. Tetapi karena kasihNya Ia membiarkan hal itu tetap terjadi asalkan karya keselamatan yang diwujudkan dalam pribadiNya tetap berlangsung.
Melalui firman Tuhan yang disampaikan oleh nabi Mikha ini, kita belajar dari tuntutan awal TUHAN Allah terhadap bangsa Israel. Jika di masa mereka hal ini tidak dilakukan, giliran kita orang percaya di masa kini harus melakukan hal ini.
Hal-hal tersebut ialah :
1. Bertindak adil, dalam arti bertindak sesuai kebenaran.
2. Setia, dalam arti menjalankan komitmen apapun situasinya.
3. Rendah hati, dalam arti tidak perlu kesombongan oleh karena hidup dalam anugerahNya.
Ketiga hal tersebut harus dilakukan oleh karena semuanya ini termasuk dalam bagian pekerjaan baik yang disiapkan Allah sebelumnya (bnd. Ef. 2:10) agar nyata kepada sesama kita bahwa kita adalah orang yang percaya kepada Tuhan (bnd Yak. 2:17) serta sebagai wujud penghargaan kita terhadap kasih karuniaNya yang telah Ia berikan kepada kita (bnd Roma 2:4). Tujuannya semata-mata agar kita hidup di dalamNya. (Noel Harapan Mendrofa, Jurusan Teologi, STT Baptis Medan)
Editor
: Bantors Sihombing