Medan (SIB)- Tantangan gereja dalam arti utuh, mulai dari bangunan fisik rumah ibadah hingga pekerja ke depannya makin berat situasi itu tidak hanya disebabkan perubahan zaman, tapi juga karena adanya SKB 2 Menteri yang membuat pekerja gereja tidak tenang menyampaikan khotbah sebab di kota-kota bahkan di pelosok-pelosok tidak mungkin mendirikan rumah ibadah sesuai isi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut.
“Alhasil karena akumulatif rasa tak nyaman, materi khotbah cenderung datar, tak berasa hingga jemaat tidak dapat menikmati makna sorgawi tersebut. Bahkan satu kebaktian ada yang tanpa khotbah,†tandas Pdt Yarman Gulo STh dari Gereja Pengamaran Injil (GPI) Tanjunganom, Deliserdang.
Penegasan pria yang juga dosen di STT Oikumene itu disampaikan dalam seminar Penulisan Karya Ilmiah untuk Publikasi yang diikuti 250-an orang dengan latar belakang sarjana, pascasarjana hingga doktoral yang diadakan di Sekolah Tinggi Teologia Sumatera Utara Jl Sembada Padangbulan Medan, Sabtu, (8/2).
Kegiatan pembekalan itu pun berkaitan dengan usainya penilaian BAN PT — dengan tim antaranya Dr David Samiyanto dari UKSW Salatiga dan Dr Joharis Siahaya MTh dari STT Tarina Bahkti Yogyakarta — untuk kampus lintas denominasi gereja tersebut.
Penegasan Pdt Yarman Gulo juga dikemukakan Jannus Abednego Simanjuntak. Dosen muda itu bahkan mengatakan, untuk memublikasikan karya ilmiah berdasarkan Injili sama artinya menyampaikan khotbah.
Tapi bila melalui media, bisa jadi tak sampai merata pada jemaat. Sementara itu, bila face to face dengan jemaat di mimbar bahkan altar gereja, ada kendala seperti di atas.
Keduanya menilik spesifik dalam Pasal 13 dan 14 SKB 2 Menteri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006, tentang kerukunan antarumat beragama dan pendirian rumah ibadah, memang diatur soal syarat-syarat pendirian rumah ibadah, selain syarat-syarat administratif dan teknis bangunan, juga diatur syarat-syarat khusus. “Gembala yang berkhotbah di luar gereja apalagi yang voluntir yang berada di desa-desa, perlu payung hukum,â€
Sharing atas harapan itu, Ketua Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (GPIBI) Sumatera Albet Saragih MA MPdK mengatakan, bila satu gereja berdiri sah tentu tidak memerlukan hal-hal lain di luarnya. Sama dengan misionaris dan voluntir, selama menyampaikan khotbah sesuai kitab suci, tak ada larangan. Untuk hal profesionalisme, ada kode etik sesuai organisasi profesi tersebut.
“Kode etik sesuai organisasi kependetaan, misalnya seperti Asosiasi Pendeta Indonesia (API) atau Ikatan Pekerja Gereja Indonesia (IPGI) adalah payung hukumnya,†ujar Kaprodi STTSU tersebut yang juga ketua panitia seminar.
Kegiatan sehari penuh itu menekankan pada penyiapan tulisan ilmiah dari ragam kajian dengan pembicara sesuai profesi masing-masing di antaranya Direktur Penerbit Mitra R Tambun STh SH, penulis biografi sejumlah orang terkemuka di Indonesia yaitu Ir Janerson Girsang.
Albet Saragih mengatakan, kegiatan difokuskan penajaman visi misi peserta khususnya mereka yang hendak melayani ke publik. “Melayani ke publik dimungkinkan dengan memublikasikan tulisan di media massa,†tandasnya didampingi sekretaris Johanes Walders Hasugian MPdK dan bendahara Drs Hermanto Sihotang STh MPdK.
Hadir di kegiatan itu sejumlah cendikiawan Kristen dari lintasdenominasi gereja di antaranya Lamria Purba STh MPdK, Bongsu Parhusip MA PM MTh, Nosita Tarigan MPdK, Rahel Ginting MTh, Dra Susana MPdK, Tio Bunga Sihotang MTh, Pitri Sihotang SPdK, Lenny Sihotang MTh, Saut TM Panjaitan MPdK, Januaster Siringoringo MPdK, R Saragih, Gundari Ginting MTh MPdK, Deni Khas J Nainggolan SPdK, Marisa Ginting SPdK, Hasahatan Hutahaean MDiv MTh, Thomas Pandawa Efrata STh MPdK dan Bonarty S Silalahi STh.
Dari sejumlah pemapar tersebut mengemuka hal kritis yang ditanyakan audiens seperti dari pendidik Agama Kristen Maria Sitepu dari SD Valentin Sunggal, Deliserdang, Mika Hasugian, Lidya Sipayung serta puluhan penulis kreatif. (r9/x)