Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 05 Juni 2025

Kafe Remang-remang: Refleksi Pencobaan Yerusalem?

Oleh Pdt.Estomihi Hutagalung,MTh
- Minggu, 16 Februari 2014 20:34 WIB
997 view
Kafe Remang-remang: Refleksi Pencobaan Yerusalem?
SIB/Ist
Pdt Estomihi Hutagalung MTh
Mungkin sebagian besar pembaca media ini akan terkejut atas pemberitaan kasus maraknya kafe remang-remang di kota Tarutung. Selasa (11/02) Sopar Siburian, "Mengajak Tokoh Agama, Masyarakat dan Pemuda Ikrarkan Tolak Kafe Remang-remang" dan Kamis, (13/2), atas statement Leo Nababan, "Kafe Remang-remang di Tarutung Segera Ditutup. Jangan Sampai Nommensen Harus Datang Untuk Kedua Kalinya"

Menjadi terkejut karena, sedikitnya, dua hal. Pertama: pemahaman masyarakat tentang kota Tarutung sejak masa Belanda yaitu masa hadirnya Nommensen sebagai Rasul Batak sampai sekarang selalu dihubungkan dengan sesuatu yang rohani. Itulah sebabnya, kota berhawa dingin ini selalu dinamai kota "Wisata Rohani" dengan ikon "Salib Kasih" serta "Patung Yesus". Sehingga hadirnya kafe remang-remang, dapat dianggap sebagai cobaan atas status kota tersebut.

Kedua: pernyataan dan upaya untuk penutupan kafe remang-remang harus dilihat dalam dimensi yang sangat luas. Bukan hanya pada aspek adat istiadat orang Batak dengan menghubungkannya pada sistem kekerabatan orang Batak sebagaimana diungkapkan Leo Nababan. Tentu saja, nilai kasih, nilai preventif (pencegahan), agar dampak kafe tersebut tidak semakin meluas.

Aspek Legalitas?
Membaca ulang surat Paulus kepada jemaat di Korintus, mendorong setiap orang untuk menyadari, maraknya praktek prostitusi di Yunani pada masa itu. Sebab Paulus sadar akan pemahaman Yunani tentang immoralitas seksual yang bertumbuh subur. Dalam hal-hal tertentu mereka menganggap adanya pelacuran bakti, pemujaan terhadap kepuasaan seksual.

Dan penduduk kota ini disemangati ikon seksual dewi Aphrodite (Venus), dewi nafsu birahi. Semangat demikian dipengaruhi pengidolaan orang Yunani terhadap keindahan tubuh. Dan praktek prostitusi tersebut akan sangat marak pada perayaan pesta olah raga dua tahunan, yang kita kenal sekarang pesta olah raga Olimpiade.

Tetapi dalam realitas konteks sosial dan pemahaman demikianlah Paulus melihat bahaya yang mengancam kekudusan jemaat baik dalam arti pribadi maupun secara umum. Paulus sadar bahwa praktek prostitusi dengan segala perangkatnya termasuk minuman, judi akan sangat mempengaruhi kekudusan persekutuan jemaat dalam gereja.

Oleh karenanya, Paulus mengingatkan jemaat Korintus akan pentingnya kekudusan pribadi, keluarga yang kudus, pernikahan yang kudus dan persekutuan jemaat yang kudus. Sehingga dalam menjalani realitas hidup sehari-hari, nilai kekudusan itu akan menjadi daya proteksi yang sangat kuat sebagai orangĀ  akan kuasa Roh Kudus.

Pencobaan di Yerusalem
Atas spirit pemurnian agama, hasrat menghukum suatu kesalahan memang selalu menggoda siapa saja yang terjebak pada jiwa fundamentalisme. Termasuk para ahli Taurat dengan menggoda Yesus untuk terjebak dalam kasus yang berbau erotis. Sebagaimana dicatat dalam kitab Yohanes 8, seorang perempuan yang tertangkap basah melakukan zinah.

Kisah mengharukan dan menegangkan itu dimulai di sebuah pagi di pelataran bait Allah Yerusalem. Suatu tempat yang sangat diagungkan oleh orang Yahudi dalam mengekspresikan puncak keagamaannya. Sebagai pusat keyakinan, emosi, jantung nasionalisme Yahudi dan dipandang mulia penuh pesona dan keagungan.

Di daerah Yerusalem, orang Yahudi selalu meyakini kehadiran yang mahakuasa dan selalu dikunjungi, layaknya wisata rohani, dalam perayaan keagamaan. Di tempat itu dibangun bait Allah, tempat satu-satunya mezbah diletakkan sebagai simbol kehadiran Allah. Disitulah umat mempersembahkan sesuatu yang rohani, yang kudus, dipimpin oleh imam besar.

Tapi pagi itu, atas inisiatif para ahli Taurat dan orang Farisi, memaksa seorang perempuan zinah supaya berdiri di tengah orang banyak. Dan berdasarkan hukum Musa, perempuan itu layak dihukum rajam. Suatu gelora fundamentalisme beragama agar kemurnian agama tidak ternoda. Padahal, dengan memaksa perempuan zinah masuk ke lokasi kudus, sesungguhnya adalah praktek penodaan agama.

Tapi Yesus, tidak menghukum perempuan itu. Para ahli Taurat dan orang farisi juga tidak menghukum. Bahkan "satu demi satu orang-orang itu pergi". Akhirnya di lokasi suci itu, tinggal Yesus dan berkata: "Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Kasih yang Memberdayakan
Membaca kisah haru yang kental dengan jebakan seksualitas di atas, menyadarkan kita bahwa aspek pertama untuk penutupan kafe remang-remang harus didahului aspek kasih. Bukan dengan membakar, melakukan tindak kekerasan. Sebab, dengan mengedepankan aspek kekerasan akan membawa kita pada kekerasan, kesalahan berikutnya. Mata ganti mata gigi ganti gigi.

Kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan tetapi harus dengan kasih. Maka pihak pemerintah, gereja, lembaga sosial, lembaga pendidikan dan adat bersinergi untuk menanggapi persoalan ini dengan jiwa transformatif. Pada kerjasama itulah terlihat pentingnya penyadaran akan nilai-nilai kesucian, nilai-nilai adat, pemberdayaan demi masa depan generasi muda kota Tarutung.

Akibatnya, anak-anak muda, masyarakat tidak menganggap kafe remang-remang sebagai suatu aspek kebutuhan. Dan pengusaha kafe remang-remang, tidak akan menganggap halal keuntungan ekonomi dari usaha itu. Dengan proses pemberdayaan, mereka justru ikut serta menjaga kekudusan kota Tarutung sebagai kota Rohani yang ditandai masyarakatnya beragama dan menjaga nilai-nilai adat Batak.

(Penulis: dosen, @estomihiagora1/h)



SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru