Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 05 Juni 2025

Membaca Ulang "Kampanye" Yesus

Oleh: Pdt.Estomihi Hutagalung,MTh
- Minggu, 16 Maret 2014 23:08 WIB
749 view
Membaca Ulang
Sejak Minggu, 16/03 sampai 05/04, proses demokrasi elektoral legislatif Pusat maupun Daerah akan memasuki tahapan kampanye politik. Kegiatan ini akan melibatkan banyak pihak secara khusus para simpatisan, massa pendukung, pencari hiburan (uang), atau menginginkan sesuatu. Dan kampanye politik menjadi indikator "kemenangan" Partai Politik atau calon legislatif.

Sesungguhnya, kegiatan gerakan massa ini sudah dikenal pada masa penginjilan Tuhan Yesus. Dan gerakan bernuansa politik perlawanan terhadap penguasa Palestina berbendera Pax Romana tersebut berdimensi sangat luas. Ada yang bersifat pragmatis maupun bersifat politis. Ada yang bermotif roti (makanan, uang), ada yang berharap penumbangan rezim yang menindas.

Model Kampanye Yesus?
Pada masa penginjilan-Nya, Yesus mempunyai pengikut yang sangat banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah dan berbondong-bondong dalam barisan Yesus. Mereka datang bukan oleh "Tim Sukses" tapi rindu melihat praktek kepemimpinan dan pelayanan Yesus dengan dengan segala motivasinya. Dan model kampanye Yesus adalah bagian dari praktek penginjilan yaitu mengajari (mendidik), melayani dan bersekutu yang bersangkutan pada multi aspek yaitu:

Pertama: Pengobatan kesehatan gratis. Yesus dalam penginjilan-Nya menyembuhkan orang buta, lumpuh, kusta, pendarahan. Bahkan, membangkitkan manusia dari kematian. Tetapi semua tindakan penyembuhan ini tidak semata-mata berkaitan dengan hal kesehatan jasmani. Tapi sebagai peneguhan iman serta kritik terhadap Tauratis yang diterapkan Ahli Taurat.

Kedua: Pemberian roti (makan) gratis). Terdapat dua kisah tentang pemberian roti (makanan) gratis yakni kepada 4000 orang (Markus 8: 5-20) dan kepada 5000 orang (Lukas 9: 10-17). Sebagai bagian dari kebutuhan pokok hidup manusia, Yesus menjadikan roti sebagai bentuk dari tanggungjawab pelayanan (diakonos) bagi orang banyak oleh murid-Nya (gereja).

Misalnya, dalam kisah pemberian roti kepada 5000 orang, Yesus menyadarkan murid-murid untuk bertanggungjawab atas kebutuhan hidup orang banyak yang terlantar. Dalam Matius 9: 36 digambarkan bahwa "Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala".

Dengan demikian, pada kampanye penginjilan Yesus, roti tidak hanya bermakna sebagai lambang kebutuhan jasmani tetapi menjadi variabel kepemimpinan, sarana penginjilan terhadap orang banyak. Secara teologis, roti sudah menjadi bagian dari visi dan misi kehadiran Yesus di dalam dunia yaitu untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah.

Ketiga: Orasi Pencerahan. Kehadiran orang banyak dalam barisan Yesus, juga bermotif pengajaran. Sebab model khotbah, orasi, pembacaan, pengajaran Yesus tidak ditemukan pada ahli-ahli Taurat, Imam di Bait Allah. Misalnya, Yesus memberi nilai baru dalam hal mengasihi musuh pada Khotbah di Bukit.
Yesus menyadarkan orang banyak untuk hidup dengan "nilai plus". Yesus berkata, "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli Taurat, orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Sorga. Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi yang menganiaya". Orasi penginjilan Yesus telah mencerahkan nilai relasi sosial.

Keempat: blusukan personal. Masyarakat Yahudi, secara khusus kalangan miskin, tidak merasakan dampak positif dari praktek kepemimpinan. Jika Karl Marx pernah mengingatkan adanya kecenderungan sosial pada motif "komoditas fetisisme", maka orang-orang miskin dengan jumah besar masuk kategori komoditi, budak yang diperas dan ditindas demi kekuasaan.

Maka pada realitas sosial demikian, Yesus hadir (blusukan) untuk mendampingi, mengajari dan menyadarkan masyarakat akan realitas sosialnya serta harapan hidup dalam kerajaan Sorga. Maka, model kampanye penginjilan Yesus dengan blusukan, berkomunikasi personal. Suatu relasi model "Aku dan Engkau" dalam gagasan filsuf Yahudi Martin Buber.

Dalam kampanye blusukan personal, Yesus menempatkan setiap orang sebagai subjek untuk disadarkan atas kemiskinan, kebodohan, penindasan. Dengan kesadaran diri sebagai subjek (insight), maka setiap orang dimampukan untuk bangkit dan mengerti tujuan hidupnya sebagai warga kerajaan Allah.

Memurnikan Motivasi
Pemberian makanan, pengobatan dan pencerahan sebagai wujud penginjilan, praktek pelayanan oleh Yesus telah berdampak luas. Dan hal itu menggairahkan harapan masyarakat akan lahirnya seorang raja, pemimpin politik yang dapat meruntuhkan rezim yang menindas. Praktek penginjilan tersebut telah menempatkan popularitas Yesus pada polling yang sangat tinggi.

Tetapi Yesus tidak terjebak pada tirani popularitas. Sebab tujuan, visi dan misi penginjilan oleh Yesus bukanlah untuk merebut dan menumbangkan pemerintah yang berkuasa. Sesuatu yang bersifat Leviathan dalam perspektif politik Thomas Hobbes.

Tetapi kampanye penginjilan Yesus adalah wujud imperatif menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah. Itu berarti kehidupan masyarakat yang  kacau harus diperbaiki sehingga merasakan nilai-nilai Sorga. Pada pergulatan demikian, Yesus menempatkan kampanye penginjilan sebagai dorongan etika hati nurani tetapi tidak terjebak politik pragmatis.

Justru, tingginya gairah ekspektasi politik, maka pada momentum demikian Yesus meluruskan, menegaskan visi dan misi kehadiran-Nya di dunia. Dengan demikian, kampanye penginjilan Yesus telah meluruskan dan memurnikan motivasi kebutuhan mereka dari manusia pencari roti sesaat menjadi pencari roti kehidupan kekal.

Maka dengan model kampanye Yesus, kita berharap kegiatan kampanye politik sebagai bagian proses demokrasi elektoral, kiranya dapat mencerdaskan dan memajukan system politik demi mewujudkan masyarakat adil, sejahtera sebagai wujud kerajaan Allah sebagaimana tercantum dalam konstitusi merdeka, UUD 1945. Semoga.

(Penulis: melayani GMI Elshaddai Simalingkar/h)


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru