Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 15 Juni 2025

Waspada! Ini 9 Gejala Ekonomi Indonesia Menuju Krisis ?

Redaksi - Sabtu, 14 Juni 2025 15:33 WIB
344 view
Waspada! Ini 9 Gejala Ekonomi Indonesia Menuju Krisis ?
Bisnis-Arief Rahman
Aktivitas pedagang beras lokal di Pasar Sentral Antasari Banjarmasin, Kamis (20/9/2018). Ilustrasi
Jakarta(harianSIB.com)

Berbagai sinyal perlambatan ekonomi mulai terasa di Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah indikator menunjukkan bahwa kondisi ekonomi domestik tengah menghadapi tekanan serius.

Gelombang PHK, angka pengangguran yang meningkat, hingga melambatnya kinerja sektor perbankan menjadi deretan tanda bahaya yang tak bisa diabaikan. Semua ini menandakan perlunya perhatian ekstra dan langkah antisipatif dari berbagai pihak.

Baca Juga:

Berikut sembilan tanda yang kini menjadi alarm peringatan bagi kondisi perekonomian Indonesia, dikutip dari CNBC Indonesia:

1. PMI Manufaktur Kembali Kontraksi
Data Purchasing Managers' Index atau PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P pada Mei 2025 kembali mencatat kontraksi di level 47,4. Ini menjadi bulan kedua berturut-turut PMI berada di zona negatif yang menandakan melemahnya aktivitas produksi dan penurunan permintaan, baik dari pasar domestik maupun ekspor.

Baca Juga:

S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.

2. Deflasi Beruntun
Indonesia kembali mencatat deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025, ketiga kalinya tahun ini. Secara tahunan artinya inflasi sebesar 1,60% year on year (yoy).

"Terjadi deflasi sebesar 0,37%," kata Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers pekan lalu. "Kelompok makanan minuman dan tembakau deflasi 1,40% dan andil 0,41%," catatnya.

Secara spesifik, komoditas penyumbang deflasi adalah cabai merah dan cabai rawit dengan andil 0,12%. Kemudian bawang merah dengan andil 0,09%, ikan segar 0,05%, bawang putih 0,04% dan daging ayam ras 0,01%.

Deflasi pada Mei adalah yang ketiga kalinya sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%). Deflasi ini bisa menjadi kabar buruk ataupun baik. Deflasi pada Mei bisa disebabkan oleh turunnya harga-harga pangan serta hilangnya efek lonjakan pembayaran tarif listrik setelah diskon 50%.

Namun, deflasi juga bisa menjadi kabar buruk karena bisa mencerminkan pelemahan daya beli. Terlebih, Indonesia sudah kerap mencatatkan deflasi pada tahun ini. Melandainya harga barang bisa dipicu oleh melemahnya permintaan bukan lagi karena harga kembali normal atau pasokan yang mencukupi.

3. PDB Kuartal I Cuma 4,87%
Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 hanya mencapai 4,87%, terendah sejak era pandemi. Padahal momen Ramadan seharusnya bisa mendorong konsumsi, namun kontribusinya belum maksimal.

4. Surplus Neraca Dagang Mengecil
Surplus neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 hanya US$ 150 juta, seiring dengan kinerja ekspor yang tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, dan impor US$ 20,59 miliar. Penurunan ini dipicu melemahnya ekspor, yang bisa berdampak pada transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, nilai neraca perdagangan per April 2025 ini juga menjadi yang terendah dalam kondisi surplus 60 bulan terakhir, atau sejak Mei 2020. Pudji bilang, terus melemahnya angka surplus ini disebabkan kinerja ekspor yang turunnya makin cepat ketimbang impor yang kini mulai naik dibanding bulan sebelumnya.

5. Ekspor Turun Tajam
Ekspor April 2025 tercatat US$ 20,74 miliar, merosot dari bulan sebelumnya dan menjadi yang terendah dalam setahun terakhir. Pudji mengatakan nilai ekspor migas tercatat US$ 1,17 miliar atau turun 13,38% dan nilai ekspor non migas tercatat naik 7,17% dengan nilai US$ 19,57 miliar.

Dampaknya? Penerimaan devisa berkurang, serta potensi penurunan produksi dan PHK di sektor terkait.

6. PHK Massal Meningkat
Gelombang PHK makin meluas. Data Apindo mencatat, sejak awal 2025 hingga Maret, sudah ada hampir 74 ribu peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terkena PHK.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mencatat, 257.471 pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah berhenti dari kepesertaannya pada 2024 karena terkena PHK. Sementara itu, Jumlah peserta yang mengajukan klaim JHT BPJS TK karena PHK pada 2024 telah mencapai 154.010 orang, dan berlanjut dari 1 Januari 2025 sampai periode Maret sebanyak 40.683 orang.

Situasi ini jelas mengurangi daya beli dan memperlemah konsumsi domestik. Ini pun berdampak pada berbagai sektor seperti ritel, manufaktur, dan jasa, mengurangi produktivitas serta investasi.

Editor
: Robert Banjarnahor
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru