Medan (SIB)- Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Desember 2015, Dinas Koperasi dan UKM Provsu melaksanakan pelatihan handicraft berbahan daun lidi dan eceng gondok kepada 25 orang calon pelaku UKM dari kabupaten/kota se-Sumut yang dilaksanakan di UPT Pelatihan Koperasi dan UMKM Provsu, selanjutnya PKL ke Jawa Tengah dan Yokyakarta.
Selain kedua kerajinan tangan itu, juga memberikan pelatihan membatik bagi 40 putra/i yang putus sekolah dan pengangguran dari kabupaten/kota se-Sumut dan praktek kerja lapangan di Jawa Tengah.
“Ini merupakan program UMKM Sumut, dalam menghadapi MEA 2015. Pelatihan ini akan terus dikembangkan, bahkan menjadi program 2016 di Dinas Koperasi dan UKM Provsu termasuk, pelatihan membordir, mengolah makanan, kecantikan, membatik dan kemasan,†ujar Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provsu Drs Mohammad Zein Siregar MSi melalui Kepala UPT Pelatihan Koperasi dan UMKM Provsu, Parluhutan Dalimunthe SE kepada SIB, Jumat (22/5) di ruang kerjanya.
Dijelaskan, kerajinan tangan (handicraft) lokal tetap menjadi pilihan utama bagi masyarakat lokal dan mancanegara, karena harga murah, kualitas bagus dan ramah lingkungan.
Menurutnya, handicraft lokal memiliki unsur seni dan kreativitas yang tinggi. Walaupun produk handicraft ada yang bisa dibuat secara massal, tapi terkadang corak antara produk yang satu dengan yang lain itu bisa berbeda.
“Inilah nantinya yang menjadikan produk handicraft lokal memiliki ciri khas tersendiri dan nilai tambah untuk diekspor ke mancanegara karena mengandung unsur seni dan kreativitas di situ,†katanya.
Dia mengatakan, hingga saat ini perajin Sumut masih memilih pewarna alami dari kulit manggis atau daun sebagai bahan baku dan ciri khas produk mereka. Zein beranggapan bahwa langkah ini sudah sangat baik sehingga produk-produk itu kembali kepada alam dan mengarah kepada fashion berkelanjutan.
Terkait dengan standardisasi, Regar mengatakan bahwa setiap produk itu pasti ada. Namun, untuk handicraft tidak ada ukuran tertentu yang diterapkan dalam setiap produknya karena memiliki unsur seni, kreativitas dan orisinalitas berbeda yang memiliki nilai tambah tersendiri. Produk handicraft ini diukur berdasarkan selera seni dari perajin dan pembeli.
“Misalnya batu akik yang saat ini sedang tren. Kan tidak bisa distandardisasi. Orang menilai itu Rp4 juta ada yang bilang Rp12 juta. Tergantung orang yang menghargai seni, jadi kreativitas di situ nilai tambahnya. Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa handicraft Sumut ini bisa dijual dari unsur seni kreativitasnya,†pungkasnya.
(A16/ r)