Jakarta (SIB)- Keberagaman merupakan fondasi bangsa yang harus dijaga, dilindungi, dan dikelola. Persoalan yang dapat mengancam integrasi nasional itu menjadi catatan penting kinerja pemerintah di era reformasi hingga saat ini.
"Salah satu kegagalan pemerintah pasca Orde Baru adalah mengelola keberagaman. Minoritas terlanggar haknya, bahkan di beberapa kasus harus terusir dari kampung halamannya. Padahal, konstitusi menjamin hak minoritas," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris, Senin (29/2).
Pengelolaan keberagaman menjadi catatan penting saat melihat indeks yang dikeluarkan Fragile State Index terhadap Indonesia sepanjang 2005-2014. Secara umum, indeks Indonesia membaik dari 89,2 pada 2005 menjadi 75 pada tahun 2015. Semakin kecil nilai indeks, sebuah negara semakin tahan menghadapi tekanan yang bisa membuatnya ambruk.
Indeks Indonesia di 2015 masih lebih baik daripada sejumlah negara ASEAN, seperti Filipina dengan indeks 86,3; Kamboja (87,9), dan Thailand (79,1). Namun, posisi Indonesia masih di bawah Malaysia (65,9) dan Brunei (63). Indeks terbaik dimiliki Finlandia (17,8) dan terburuk adalah Sudan Selatan dengan indeks 114,5.
Meski secara umum menunjukkan perbaikan, nilai Indonesia dalam kekerasan antarkelompok memburuk. Kekerasan antarkelompok ini mencakup diskriminasi, ketidakberdayaan, kekerasan antaretnik, kekerasan komunal, kekerasan sektarian, dan kekerasan atas nama agama.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila Yudi Latif mengatakan, keberagaman tidak selalu menjadi penyebab utama konflik antarkelompok. "Meruncingnya kekerasan rasial atau agama umumnya lebih didorong oleh faktor kesenjangan terhadap akses sumber daya ekonomi," katanya.
Kesenjangan tersebut berkembang menjadi ketidakpuasan dan muncul sebagai konflik yang kerap mengatasnamakan etnis dan agama. "Intoleransi dan konflik antarkelompok pada akhirnya sangat ditentukan oleh bagaimana negara mampu menjamin perlindungan bagi warganya, baik dari segi ekonomi maupun keamanan," kata Yudi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menambahkan, pendidikan menjadi kunci untuk menangani permasalahan intoleransi yang kerap terjadi di Indonesia belakangan ini.
(Kps/h)