Jakarta (SIB)- Anggota Komisi I DPR RI Martin Hutabarat SH menyatakan, kalau ada permintaan agar Indonesia mengirim pasukan untuk membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf, pemerintah harus berhati-hati menyikapinya. Sebab, membebaskan 10 WNI dari sekapan Abu Sayyaf tidaklah mudah.
“Gerilyawan Abu Sayyaf merupakan kelompok terlatih yang jumlahnya cukup banyak dan didukung peralatan lengkap, apalagi tempat penyekapan bukan daerah yang dikenal TNI, karena terletak di wilayah daratan Filipina,†kata Martin Hutabarat, terkait disekapnya 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf beberapa hari lalu.
Politisi Partai Gerindara ini mengemukakan, pasukan Filipina sendiri kewalahan menumpas kelompok Abu Sayyaf sampai sekarang, sehingga dikhawatirkan kalau TNI diterjunkan ke sana, bisa bisa operasi pembebasannya memakan waktu lama dan bisa sangat memalukan.
Wakil rakyat dari Dapil 3 Sumut ini memberikan contoh, gerombolan Santoso saja yang anak buahnya tidak lebih 40 orang di daerah pegunungan Poso yang wilayah Indonesia, sampai sekarang sudah bertahun-tahun tidak bisa ditangkap dan diselesaikan secara tuntas. Padahal, sudah begitu banyak anggota Polri dan TNI ditugaskan untuk mengejarnya. Bahkan minggu lalu, beberapa orang perwira TNI yang terbaik pun telah gugur karena kecelakaan helikopter di Poso dalam operasi tersebut.
“Karena itu, TNI harus hati-hati menyikapinya, dan jangan terbawa emosi,†ujar Martin sembari menyebutkan, harus diperhitungkan betul kekuatan dan kemampuan.
Dapat ditambahkan, kelompok Abu Sayyaf memberikan ultimatum pembayaran tebusan bagi 10 WNI yang disandera, paling telat pada 8 April 2016.
Seperti dikutip dari media Filipina, Inquirer, Rabu (29/3), ada video diposting di akun Facebook yang memiliki koneksi dengan militan yang menyebutkan bila pembayaran itu tak dilakukan maka sandera akan dibunuh. Para penyandera meminta tebusan 50 juta peso, atau sekitar Rp 15 miliar. Sedangkan pemerintah Filipina sendiri sudah menegaskan pihaknya menganut no-ransom policy.
Pemerintah Indonesia sedang mengupayakan penyelamatan 10 WNI ini. Menlu Retno Marsudi menegaskan bahwa prioritas utama adalah keselamatan WNI.
10 WNI ini adalah awak kapal tug boat Brahma 12 yang menarik kapal tongkang Anand 12 yang berisi 7.000 ton batubara. Tugboat dilepaskan tetapi kapal Anand 12 dan 10 WNI disandera.
Pemerintah Indonesia masih berkoordinasi dengan pemerintah Filipina untuk membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf. Pihak kepolisian masih menunggu izin dari pemerintah Filipina untuk ikut melakukan tindakan terhadap Abu Sayyaf.
"Kami sedang menunggu koordinasi, apakah nanti pemerintah Filipina itu membolehkan kami ikut ke sana atau tidak," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Balai Kartini, Jl Gatot Soebroto, Jaksel, Rabu (30/3).
Badrodin menjelaskan sebenarnya yang lebih berwenang untuk melakukan pembebasan 10 WNI yang disandera adalah TNI, apalagi para WNI itu disandera di luar negeri.
"Kita sudah ada kesepakatan dengan TNI. TNI yang ke luar wilayah dan yang di wilayah kami. Ini kan adanya di luar wilayah Indonesia, TNI yang koordinasi," jelas Badrodin seraya menambahkan, informasi yang diterima, para WNI dalam keadaan baik-baik saja.
Soal uang tebusan Rp15 miliar yang diminta kelompok Abu Sayyaf, Badrodin menuturkan hal tersebut kewenangan perusahaan yang memperkerjakan para WNI itu.
"Informasi yang kami terima, mereka baik-baik saja. Kami nggak bisa (menebus), saya kira nggak bisa masuk dari situ. Itu serahkan saja pada pihak perusahaan," ungkapnya.
Sebagaimana diberitakan media, 10 WNI yang menaiki Kapal Tug Boat Brahma 12 yang mengarungi perjalanan menuju Sulu, Filipina diserang kelompok Abu Sayyaf. 10 Awak kapal disandera dan kapalnya ditinggalkan di Tawi-tawi.
Harus Diperkuat
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon berharap pemerintah terus mengupayakan lobi kepada pemerintah Filipina.
"Intinya pemerintah harus bekerja lebih keras, untuk mendapat respons dari Filipina, karena ini menyangkut nyawa warga negara kita," ujar Fadli saat dihubungi, Jumat (1/4).
Meski penyanderaan ini berada di wilayah Filipina, semestinya pemerintah bisa melakukan lobi dengan misalnya kerjasama sebelumnya dalam bentuk joint operation. Sebab hubungan militer Filipina dan Indonesia terjalin baik.
"Ya, seharusnya hubungan kita dengan Filipina tidak ada masalah. Kejadian ini kan berada di wilayah mereka, ini mereka punya kedaulatan di situ. Jadi, kita harus punya lobi lebih jauh, mestinya bisa kerjasama, joint operation," tuturnya.
Fadli menekankan upaya lobi pemerintah untuk pembebasan 10 WNI ini harus dipercepat. Hal ini mengingat latar belakang kelompok Abu Sayyaf yang tak sungkan untuk mengeksekusi mati sandera bila tebusan uang tak diberikan.
Sementara, batas yang diberikan Abu Sayyaf Group sampai 8 April 2016.
"Ya makanya pemerintah harus pro aktif, karena Abu Sayyaf ini miitan, kita harus komunikasi terus dari pemerintah, dengarkan harapan keluarga langsung. Ambil langkah cepat. Kuatkan lobi," tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, pihak Armed Forces of the Philippines (AFP) menyatakan tak memerlukan tawaran bantuan dari militer Indonesia.
"Dalam konstitusi, kami tidak izinkan kekuatan militer (negara lain) di sini tanpa perjanjian," tutur juru bicara AFP Kolonel Restituto Padilla seperti dikutip dalam inquirer.net, Kamis (31/3). (G01/detikcom/y)