Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 10 Juli 2025

Pansus Angket KPK Temui Napi Korupsi, ICW: Itu Pemufakatan Jahat

- Sabtu, 08 Juli 2017 11:29 WIB
483 view
Jakarta (SIB)- Pansus hak angket KPK di DPR mengunjungi Lapas Sukamiskin di Bandung untuk bertemu dengan koruptor. Lembaga antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah pansus angket sebagai bentuk pemufakatan jahat terhadap KPK.

Kunjungan pansus angket ke Lapas Sukamiskin dilakukan untuk mewawancarai narapidana koruptor terkait kinerja KPK dalam menangani perkara korupsi. Selain ke Sukamiskin, pansus rencananya juga akan mengunjungi Lapas Pondok Bambu, Jakarta Timur, dengan tujuan yang sama, meski belum jelas kapan waktunya.

"Mewawancarai koruptor patut diduga sebagai skenario menciptakan kampanye negatif kepada KPK (black campaign). Sudah dapat ditebak, sebaik apapun kinerja KPK, jika narasumbernya adalah koruptor pasti penilaiannya jelek kepada KPK," ungkap Peneliti ICW Donald Fariz kepada wartawan, Kamis (6/7).
"Mewawancarai koruptor untuk menilai KPK adalah sebuah pemufakatan jahat untuk mendeskreditkan KPK," imbuhnya.

Menurut Donald, secara hukum seluruh terpidana korupsi yang telah telah berkekuatan hukum tetap sudah terbukti melakukan kejahatan korupsi. Pada saat yang sama, vonis bersalah itu disebutnya sebagai pembuktian kinerja KPK sudah benar.

"Jika saja proses hukum yang dilakukan KPK keliru atau menyimpang, tentu putusannya akan bebas atau lepas. Apalagi sekarang ada tahapan pra-peradilan untuk menilai keabsahan proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum termasuk di dalamnya KPK," tutur Donald.

Dia menilai kunjungan pansus angket yang dipimpin oleh Agun Gunandjar tersebut bermuatan politis. Bahkan Donald menilainya apa yang dilakukan pansus angket ini sebagai sebuah panggung sandiwara untuk mencari-cari kesalahan KPK.

"Jika setiap tahapan proses hukum yang dilakukan oleh KPK sudah diuji oleh peradilan akan dinilai oleh pansus dan koruptor, maka sudah ditebak kunjungan pansus akan bermuatan politis," tegasnya.

"Sukamiskin dan Pondok Bambu akan jadi panggung sandiwara pansus untuk mencari cari kesalahan KPK yang dibumbui cerita koruptor," imbuh Donald.
Tujuan pansus menemui napi koruptor diklaim untuk mengorek bagaimana cara pemeriksaan KPK dalam satu kasus korupsi. Pansus menyatakan akan fokus pada proses pemeriksaan penyidikan pesakitan korupsi oleh KPK.

"Ini jelas adalah kolaborasi koruptor dan pansus hak angket untuk melemahkan bahkan membubarkan KPK," ujar Donald.

Busyro Muqoddas: Itu Lelucon
Sementara itu mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut pertemuan Pansus ke Sukamiskin sebagai lelucon.

"Mungkin menurut mereka itu etis, tapi bagi masyarakat luas dan saya, jelas itu sebuah lelucon. Tidak ada nalar hukumnya. Mengapa, karena yang nanya, napi itu sudah berstatus terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum, bahkan statusnya sudah berkekuatan hukum tetap, inkrah melakukan tindak pidana korupsi. Kalau sudah terbukti, terus yang mau diwawancara apanya," kata Busyro saat mendatangi gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Kamis (6/7).

Busyro mengungkapkan keheranannya atas tujuan Pansus Hak Angket mewawancarai napi.

"Apakah mengharapkan sesuatu yang berbeda dari yang diputuskan hakim itu. Kalau itu yang diharapkan, berarti Pansus ini kan tidak jelas arahnya, apa yang mau ditarget dengan menemui napi-napi itu," ungkapnya.

Menurut Busyro, masih banyak urusan lain yang bisa dikerjakan. Ia justru mengingatkan kondisi masyarakat kini yang menjadi korban pemiskinan akibat korupsi politik.

"Oleh karena itu, masyarakat itu harusnya oleh DPR dan Pansus diposisikan untuk diberikan sikap-sikap yang lebih mengangkat derajat masyarakat itu agar terbebas dari korupsi politik, yang dari mana sumber korupsi politik itu berasal dari kelakuan anggota DPR itu sendiri, maupun daerah. Meskipun tidak semuanya, meskipun hanya sebagian saja," ucapnya.

Justru lewat Pansus seharusnya DPR membuat langkah dan informasi yang tepat kepada masyarakat. Bukannya informasi yang malah memperlemah KPK. Busyro justru khawatir terhadap kondisi DPR kini.

"Saya seratus persen tidak percaya kalau Pansus ini untuk menguatkan KPK. Masyarakat pun seandainya di-polling oleh semua media pun pasti tidak percaya. Kalau masyarakat sudah tidak percaya terus dipaksakan dengan langkah-langkah yang terlihat panik itu, kan malah jadi sesuatu lelucon yang tidak lucu," ucap Busyro.

"Kasihan DPR sebagai lembaga demokrasi, di bawahnya justru mengalami proses dilegitimasi, justru oleh sebagian anggota DPR. Terutama yang masuk Pansus itu," tuturnya.

Dinilai Tak Hormati Peradilan
Guru Besar Antikorupsi menilai pertemuan Pansus Angket KPK dengan para terpidana korupsi tidak menghormati proses peradilan yang sudah berjalan. Pertemuan itu akan menjadi tendensi tidak baik bagi lembaga negara lainnya.

"Ya itu juga berarti suatu lembaga negara yang tidak menghormati proses peradilan yang sudah berjalan. Itu kan akan menjadi tendensi tidak baik bagi lembaga-lembaga yang lainnya," ujar juru bicara Guru Besar Antikorupsi, Asep Saefuddin, di Kantor Staf Kepresidenan, Gedung Bina Graha, Jalan Veteran No 16, Jakarta Pusat, Kamis (6/7).

Menurut Asep, setiap proses yang dijalankan lembaga negara seharusnya baik dari segi substansi ataupun proses. Jika ada proses tidak baik yang dijalankan lembaga negara, itu akan menjadi pendidikan tidak baik bagi warga negara dan penerusnya.

"Seperti sekarang hak angket, itu kan secara hukum proses dan substansinya tidak benar. Kita tahu bagaimana mengetuk palu waktu itu, sebelum ada kesepakatan musyawarah untuk mufakat, belum lagi hak angket itu untuk siapa," kata guru besar IPB tersebut.

Asep memandang hak angket idealnya untuk pemerintah dan bukan untuk lembaga negara. Dia menilai Pansus Angket cacat prosedur dan cacat secara substansi.

"Kalau itu cacat diteruskan, kita sebagai penonton, 'Wah, ini pendidikan yang tidak baik'. Kalau kita mengerti tentang substansi dan proses itu harus baik, tentu kita lebih mempelajari itu. Tapi kalau umumnya masyarakat melihat DPR juga begitu, melakukan suatu yang sifatnya cacat dan dilakukan terus bagaimana pendidikan terhadap jutaan orang di Indonesia," ucapnya.

Guru Besar Antikorupsi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menilai pertemuan Pansus Angket KPK dengan napi korupsi salah besar. Seharusnya, Pansus Angket KPK menemui akademisi dan aktivis antikorupsi.

"Kalau menurut metodologi sampling, itu (pertemuan Pansus Angket dengan napi koruptor) sebenarnya tidak perlu, itu salah banget. Secara metodologi meminta pendapat dari orang yang terpidana itu bias, sehingga sebenarnya tidak perlu dilakukan," ujar Asep Saefuddin.

Menurur Asep, jika ingin menerima masukan-masukan yang bersifat umum jangan kepada napi korupsi. Para napi korupsi cukup didukung dan didoakan agar menjadi orang yang baik.

"Tapi kalau ditanyakan soal ini soal itu ya jelas dong, sebagai (akademisi), bias itu namanya. Ya namanya manusia kan ingin dilihat baik, tidak ada (yang mengaku) 'saya pun pencuri' tidak ada, pasti mengatakan saya orang baik. Tidak ada manusia yang mengatakan saya orang baik, justru itu lah tidak perlu itu dilakukan karena kesimpulannya menjadi bias," kata guru besar IPB ini.

Asep menilai sebaiknya Pansus Angket KPK meminta masukan dari aktivis dan akademisi antikorupsi. Meminta pendapat ke napi korupsi bukan tindakan yang tepat. (detikcom/l)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru