Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 02 Juli 2025
Dari Forum Group Discussion (FGD) di FH-USU

Terkait Tanah eks HGU PTPN, Mutlak Kewenangan Pemerintah Daerah di Sumut Mengaturnya

* Pakar Hukum Prof Syafruddin Kalo Minta Pemda Sumut Berperan Aktif
- Jumat, 21 Desember 2018 10:10 WIB
471 view
Terkait Tanah eks HGU PTPN, Mutlak Kewenangan Pemerintah Daerah di Sumut Mengaturnya
SIB/INT
Medan (SIB) -Terkait penanganan  masalah tanah eks  PTPN  II  di Sumut,pakar hukum  dari FH USU Prof  Dr Syafruddin Kalo  SH MHum  menyarankan  kepada Pemerintah Daerah di Sumut  sebagai wakil  pemerintah pusat di daerah,agar aktif berperan  sesuai  dengan fungsinya  sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang Undang  Pokok Agraria(UUPA) dalam mengatur  tanah terutama yang HGU (hak guna usaha)-nya telah berakhir. Sebab atas tanah yang HGU-nya sudah berakhir, maka tanah itu menjadi dikuasai  oleh negara dalam arti untuk mengaturnya bukan memilikinya.

Hal ini dikemukakannya sebagai pembicara dalam  FGD(forum group discussion)  "Mencari Keseragaman  Pandangan  Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Indonesia" yang diselenggarakan Laboratorium FH USU di ruang  DPF FH USU,Rabu(18/12), dengan perserta para mahasiswa FH ,dosen,praktisi hukum dan pers.Selain  Syafruddin Kalo juga tampil sebagai nara sumber  Prof Dr  Ediwarman  SH MHum,Dr Mahmud Siregar  SH MHum dan Dr Mirza Nasution  SH MHum dimoderatori Eva Nasution.Juga hadir   Wakil Dedan  III FH USU  Dr Jelly Leviza (mewakili Dekan) sekaligus membuka acara dan Ketua Laboratorium FH USU Dr Edi Yunara SH MHum.

"Tidak tergantung pada  adanya ijin dari penghapus bukuan dan ijin pelepasan asset dari menteri yang terkait dan berwenang.Kita sarankan Pemerintah daerah di Sumut sepanjang menyangkut kasus tanah PTPN II yang sudah habis/berakhir  HGU-nya, agar aktif berperan sesuai fungsinya yaitu dalam mengatur soal tanah tersebut",kata Syafruddin Kalo dengan makalahnya berjudul;"Berakhirnya HGU PTPN II dan akibat Hukumnya",

Menurut  dia, tanah eks HGU bukanlah  merupakan asset  PTPN dan oleh karena itu tidak perlu ada ijin  pelepasan asset  dari kementerian  yang bersangkutan, tetapi  mutlak  merupakan  kewenangan pemerintah daerah untuk mengaturnya(pasal 2 ayat 4 UUPA).Namun kenyataan yang terjadi  dalam kasus tanah PTPN II, bahwa berakhirnya HGU sekitar  tahun 2000 yang sampai  sekarang 2018 (kurang lebih 18 tahun) ditelantarkan sehingga  banyak penggarap, karena belum ada penghapus bukuan dan ijin pelepasan aset dari menteri yang bersangkutan.

Jika dihubungkan dengan azas kebangsaan,"tiap tiap  WNI baik laki laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama  untuk memperoleh  sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya".Oleh karena itu perlu diadakan perlindungan  bagi golongan warga  lemah terhadap sesama warga  yang kuat kedudukan ekonominya.

Untuk itu Prof Syafruddin Kalo dalam makalahnya, mempertanyakan penanganan kasus korupsi yang  objeknya terkait  tanah eks PTPN II, sebagaimana diberitakan pers  baru baru ini. Penanganan kasus itu kata dia,tidak terbatas pada masyarakat apalagi  tersangkanya hanya tunggal. Tetapi dapat  pula diduga para instansi lain  yang berkaitan dengan  eks HGU itu terlibat.Bisa saja  oknum BPN,oknum camat,oknum kepala desa, oknum PTPN II dapat dijadikan tersangka, minimal karena kesalahan berupa  sengaja atau lalai,serta bisa berbentuk penyalahgunaan wewenang,pemalsuan dan peran lainnya.

Sementara Guru besar hukum pidana Ediwarman  berpendapat,untuk menentukan   kerugian negara harus  berdasarkan hasil audit BPK sesuai  pasal 23 ayat 1 UUD 1945 dan UU RI No 15 tahun 2006  tentang BPK.Sedangkan strategi  penegakan  hukum yang harus dilakukan dan kebijakan kriminal dalam perspektif victimologi(ilmu yang mempelajari tentang korban kejahatan) menurut dia adalah, strategi pendekatan sistem,budaya,ekonomi dan pendekatan SDM/sumber daya keuangan serta kebijakan criminal  dalam perspektif victimologi penal dan non penal(denda dan  ganti rugi kepada korban).       

Sebab menurutnya, penyebab terjadinya korupsi itu antara lain, karena sistem hukum yang lemah,lemahnya pendidikan agama /norma,pola hidup yang  konsumtif, sikap pemerintah yang toleran terhadap  perbuatan korupsi dan kemampuan politik pemerintah untuk meberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. (BR1/l)

Editor
:
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru