Medan (SIB) -Terkait penanganan masalah tanah eks PTPN II di Sumut,pakar hukum dari FH USU Prof Dr Syafruddin Kalo SH MHum menyarankan kepada Pemerintah Daerah di Sumut sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,agar aktif berperan sesuai dengan fungsinya sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang Undang Pokok Agraria(UUPA) dalam mengatur tanah terutama yang HGU (hak guna usaha)-nya telah berakhir. Sebab atas tanah yang HGU-nya sudah berakhir, maka tanah itu menjadi dikuasai oleh negara dalam arti untuk mengaturnya bukan memilikinya.
Hal ini dikemukakannya sebagai pembicara dalam FGD(forum group discussion) "Mencari Keseragaman Pandangan Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Indonesia" yang diselenggarakan Laboratorium FH USU di ruang DPF FH USU,Rabu(18/12), dengan perserta para mahasiswa FH ,dosen,praktisi hukum dan pers.Selain Syafruddin Kalo juga tampil sebagai nara sumber Prof Dr Ediwarman SH MHum,Dr Mahmud Siregar SH MHum dan Dr Mirza Nasution SH MHum dimoderatori Eva Nasution.Juga hadir Wakil Dedan III FH USU Dr Jelly Leviza (mewakili Dekan) sekaligus membuka acara dan Ketua Laboratorium FH USU Dr Edi Yunara SH MHum.
"Tidak tergantung pada adanya ijin dari penghapus bukuan dan ijin pelepasan asset dari menteri yang terkait dan berwenang.Kita sarankan Pemerintah daerah di Sumut sepanjang menyangkut kasus tanah PTPN II yang sudah habis/berakhir HGU-nya, agar aktif berperan sesuai fungsinya yaitu dalam mengatur soal tanah tersebut",kata Syafruddin Kalo dengan makalahnya berjudul;"Berakhirnya HGU PTPN II dan akibat Hukumnya",
Menurut dia, tanah eks HGU bukanlah merupakan asset PTPN dan oleh karena itu tidak perlu ada ijin pelepasan asset dari kementerian yang bersangkutan, tetapi mutlak merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk mengaturnya(pasal 2 ayat 4 UUPA).Namun kenyataan yang terjadi dalam kasus tanah PTPN II, bahwa berakhirnya HGU sekitar tahun 2000 yang sampai sekarang 2018 (kurang lebih 18 tahun) ditelantarkan sehingga banyak penggarap, karena belum ada penghapus bukuan dan ijin pelepasan aset dari menteri yang bersangkutan.
Jika dihubungkan dengan azas kebangsaan,"tiap tiap WNI baik laki laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya".Oleh karena itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga lemah terhadap sesama warga yang kuat kedudukan ekonominya.
Untuk itu Prof Syafruddin Kalo dalam makalahnya, mempertanyakan penanganan kasus korupsi yang objeknya terkait tanah eks PTPN II, sebagaimana diberitakan pers baru baru ini. Penanganan kasus itu kata dia,tidak terbatas pada masyarakat apalagi tersangkanya hanya tunggal. Tetapi dapat pula diduga para instansi lain yang berkaitan dengan eks HGU itu terlibat.Bisa saja oknum BPN,oknum camat,oknum kepala desa, oknum PTPN II dapat dijadikan tersangka, minimal karena kesalahan berupa sengaja atau lalai,serta bisa berbentuk penyalahgunaan wewenang,pemalsuan dan peran lainnya.
Sementara Guru besar hukum pidana Ediwarman berpendapat,untuk menentukan kerugian negara harus berdasarkan hasil audit BPK sesuai pasal 23 ayat 1 UUD 1945 dan UU RI No 15 tahun 2006 tentang BPK.Sedangkan strategi penegakan hukum yang harus dilakukan dan kebijakan kriminal dalam perspektif victimologi(ilmu yang mempelajari tentang korban kejahatan) menurut dia adalah, strategi pendekatan sistem,budaya,ekonomi dan pendekatan SDM/sumber daya keuangan serta kebijakan criminal dalam perspektif victimologi penal dan non penal(denda dan ganti rugi kepada korban).
Sebab menurutnya, penyebab terjadinya korupsi itu antara lain, karena sistem hukum yang lemah,lemahnya pendidikan agama /norma,pola hidup yang konsumtif, sikap pemerintah yang toleran terhadap perbuatan korupsi dan kemampuan politik pemerintah untuk meberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. (BR1/l)