Medan (SIB)- Penutupan sepihak terhadap kafe-kafe serta warung yang menyuguhi tuak di wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan, sama saja menghapuskan tuak di kalangan masyarakat, khususnya suku Batak. Tidak hanya itu saja, penghapusan tuak sama dengan menghapuskan adat orang Batak.
Dengan adanya penutupan itu, banyak kalangan masyarakat Batak mengecam keras dengan dilakukannya razia-razia serta penutupan paksa. Akibatnya, para pengusaha kafe dan lapo tuak otomatis tidak bisa berdagang lagi serta tidak bisa menafkahi keluarganya, lantaran usahanya ditutup.
Menurut data yang di rangkum SIB dari berbagai sumber, Rabu (13/8), menurut sejarahnya, tuak takkasan disebut sebagai sadapan. Tuak diambil dari mayang enau atau aren (Arenga Pinnata). Dalam bahasa Indonesia, sadapan disebut nira, dan rasa nira sangat manis. Ada 2 jenis tuak, diantaranya manis dan pahit.
Di Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh serta berproduksi di daerah tanah yang subur di ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut. Pada daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter dan lebih dari 800 meter, tanaman aren tetap tumbuh. Tetapi produksi buahnya kurang memuaskan.
Pohon enau atau aren dalam bahasa Batak Toba disebut "Bagot". Hingga kini, Bagot yang tetap digunakan untuk menyadap tuak. Di kota Medan yang hampir sama tingginya dengan permukaan laut, Bagot tidak bertumbuh, makanya warga Medan mengambil sadapan dari pohon kelapa. Walaupun begitu, setelah tahapan proses, minuman itu tetap dinamai tuak dalam masyarakat Batak Toba.
Penyadap tuak disebut juga dengan paragat (Agat=mirip pisau yang dipakai sewaktu menyadap tuak), sering diucapkan dalam bahasa Batak Toba.
Caranya cukup sulit, setelah dipukul tandan hingga berulang-ulang dengan kayu yang disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Selanjutnya membungkus ujung tandan itu dengan obat (kapur sirih atau keladi yang ditumbuk), selama 2-3 hari. Setelah prosedur ini selesai, airnya akan
datang dengan lancar. Paragat selalu menyadap tuak 2 kali sehari, yakni pagi dan sore. Tuak yang ditampung pagi hari, selalu dikumpulkan di rumah paragat, selanjutnya rasanya di ujicoba. Kemudian paragat memasukkan tuak itu ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru, tujuannya supaya cocok rasanya. Raru itu yang mengakibatkan peragian.
Dari dulu hingga sekarang, anak seorang paragat mengikuti orang tuanya untuk belajar dan selalu turun ke jurang, kemudian menaiki pohon bagot. Banyak juga paragat membuka lapo tuak sendiri, tetapi umumnya sebagian besar paragat menjual tuaknya itu ke warung atau agen tuak. Dengan cara itu, paragat mendapatkan uang untuk menafkahi keluarganya. Di wilayah kota Medan, tuak dibawa dari Percut, yang merupakan wilayah di luar kota Medan, lantaran di daerah itu terdapat kebun kelapa khusus untuk mengambil tuak. Produksi tuak dari pohon kelapa tidak berbeda dengan tuak dari bagot.
TAK LEPAS DARI KEBIASAAN ORANG BATAK
Kebiasaan masyarakat Batak, minum tuak sudah lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti di daerah Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara (Taput) dan daerah lainnya. Di daerah yang disebutkan itu, setiap pria yang baru menyelesaikan kerjanya, seperti bertani, langsung berkumpul di lapo tuak pada sore hari, bersama teman dan kerabatnya. Pria-pria yang masih lelah itu berbincang, bernyanyi, bercatur dan menonton televisi, sembari minum tuak takkasan sebanyak beberapa gelas, dan setiap hari meminum tuak.
Sedangkan di kota Medan, pria asli Batak Toba belum tentu mempunyai kebiasaan minum tuak. Ada juga yang terbiasa dengan meminum tuak. Minum tuak tidak berhubungan dengan status sosial dan ekonomi. Kalangan peminum tuak rata-rata berstatus rendah sosialnya, seperti penarik becak. Ada juga peminum tuak yang status ekonominya tinggi, seperti pegawai negeri sipil (PNS).
Biasanya wanita Batak Toba tidak minum tuak. Tetapi, menurut tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak diharuskan minum tuak takkasan, dan hal itu dimaksudkan untuk memperlancar air susu (ASI), serta tubuhnya akan mengeluarkan banyak keringat, untuk mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya. Wanita yang baru melahirkan itu meminum tuak sebagai pengganti air putih, dan ia harus mengkonsumsi tuak selama 1 minggu.
DIGUNAKAN DALAM UPACARA ADAT BATAK
Tuak memiliki hubungannya erat dengan adat, dan disebut tuak tankkasan, dan belum dicampur dengan raru. Tuak takkasan yang asli sangat manis, dan dalam bahasa Batak Toba disebut juga dengan "Tuak Na Tonggi." Tuak berasal dari mayang bagot. Legenda batang bagot menurut sejarah yakni, Putri si boru Sorbajati dipaksa oleh orang tuanya supaya kawin dengan seorang pria yang cacat dan tidak disukainya. Lantaran tekanan orang tua yang telah penerima uang mahar, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap.
Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah.
Di situlah ia menjelma/tumbuh sebagai pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati.
Karena perbuatan yang membunuh diri, itu dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata.
Tuak menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya.
Tuak termasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, diantaranya "Upacara Manuan Ompu-ompu dan Upacara Manulangi."
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, selalu ditanam beberapa jenis tanaman di atas tambak/kuburan dari tanah yang terlapis. Sedangkan kuburan moderen yang terbentuk dari semen saat ini disebut juga dengan tambak. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak.
Tetapi sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja.
Dalam upacara Manulangi, para keturunan dari seseorang nenek memberikan makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu, dimana turunannya meminta restu, nasehat dan pembagian harta. Hal itu disaksikan oleh pengetua-pengetua adat. Pada waktu memberikan makanan, harus disajikan air minum serta tuak. Air minum dan tuak tetap disajikan kepada orang tua yang disulangi.
Intinya, tuak bukan dikategorikan sebagai miras, melainkan minuman khas orang Batak yang sudah turun temurun dikonsumsi. Contoh seperti Jepang, mereka meminum Sake yang sudah dikenal khas sebagai produksi tradisional negara Matahari itu yang sudah dikonsumsi turun temurun.
Demikian juga negara Korea dengan produk minuman Soju, yang merupakan ciri khas kebanggaan warganya.
Jika meminum tuak terlalu banyak, orang yang meminumnya menjadi jujur, lebih terbuka tanpa menutup-nutupi sesuatu, sungkan dan segan. Orang yang dibawah pengaruh tuak juga bisa membantu berjalannya pengambilan suatu keputusan.
Orangtua dulu mengatakan, 1 gelas tuak menambah darah, 2 gelas lancar berbicara, 3 gelas mulai tertawa-tawa, 4 gelas mencari gara-gara, 5 gelas hati membara. Jadi, berhenti berpikir negatif terhadap tuak takkasan.
Namun lebih dituntut adanya suatu persepsi yang lebih dewasa terhadap keberadaan Tuak sehingga pengguna maupun orang lain yang tak mengonsumsinya dapat saling memahami kenapa Tuak tak seharusnya jadi momok kepada masyarakat.
Tuak, juga dikenal selain sebagai bahan baku pembuatan gula aren, juga merupakan bahan baku pembuatan cuka makanan.
(c)