Jakarta (SIB)
Ilmuwan matematika Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, memprediksi puncak infeksi virus Corona jenis baru (Covid-19) terjadi pada pertengahan Mei 2020. Namun akhir dari pandemi ini tergantung dari kebijakan yang diambil pemerintah.
Sutanto Sastraredja, yang juga dosen Program Studi Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA) UNS, memaparkan secara matematis dinamika populasi Covid-19 dengan model SIQR.
Penjelasan model ini adalah Susceptible (S) digambarkan sebagai orang yang sehat yang rentan terinfeksi, Infected (I) sebagai individu yang terinfeksi, Quarantine (Q) sebagai proses karantina, dan Recovery (R) adalah orang yang telah sembuh dari Covid-19.
Data-data diambil mulai 2 Maret 2020 saat pertama kali pemerintah mengumumkan secara resmi terdapat dua orang yang terinfeksi virus Corona. "Saya ambil data sampai 22 Maret," ujar Susanto, Sabtu (28/3).
"Dari data itu saya temukan parameter. Parameter ini kemudian saya masukkan dalam rumus matematika, sehingga bisa menghitung kecepatan orang yang sudah terinfeksi, dan yang masuk karantina," ujarnya.
Kecepatan orang sehat jadi terinfeksi, menurut Susanto, dipengaruhi faktor laju kontak. Laju kontak semakin besar jika orang sering bertemu dan berkumpul. "Kondisi ini akan membuat banyak yang berpindah status dari S jadi I atau terinfeksi," ujarnya.
Orang yang terinfeksi ini akan ada yang meninggal atau sembuh. Namun orang yang terinfeksi ini bisa melakukan karantina total atau Q. Besarnya orang yang masuk dalam karantina tergantung lagi pada faktor laju karantina. "Faktor laju karantina ini tergantung kemampuan negara dan masyarakat," ujar Susanto.
Model SIQR ini kemudian dianalisis lagi menggunakan metode numerik Runge-Kutta Orde 4 sehingga menghasilkan sebuah grafik. Kesimpulannya, jika tidak ada perubahan dalam penanganan, diperkirakan puncak infeksi terjadi pada pertengahan Mei 2020.
Saat itu, menurut perhitungan Susanto, terdapat 2,5 persen dari populasi yang berisiko dari Indonesia akan terinfeksi virus Corona. Setelah itu mulai akan ada penurunan.
Doktor ilmu matematika terapan dari Universite de Bordeaux, Prancis, itu dalam analisisnya mengambil prediksi masa 100 hari penyebaran atau sampai tanggal 10 Juni 2020. Mengapa demikian?
"Kita harus kerja berbasis target. Dan saya lihat negara yang terjangkit COVID-19, pertahanan ekonominya sudah mulai ambruk kalau lewat 100 hari, sehingga saya membuat hitungan 100 hari penyebarannya harus berhenti," ujar Susanto.
Namun, Susanto mengingatkan, dirinya tidak membuat kesimpulan bahwa pandemi Covid-19 akan berhenti pada 10 Juni tersebut. Menurutnya, penentu akhir wabah ini berada di tangan pemerintah. Pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk mengatur nilai faktor laju kontak dan faktor laju karantina.
Idealnya, kebijakan yang ditempuh adalah memperbesar laju karantina dan mengecilkan laju kontak. Sebanyak-banyaknya mencari orang yang positif, lalu masukkan karantina, dibarengi usaha menekan orang yang masih sehat agar tetap tinggal di dalam rumah supaya tidak ada kontak.
"Di Wuhan, faktor laju kontak dinolkan dengan lockdown total. Tapi apakah full lockdown bisa dimungkinkan di sini. Kalau ternyata sulit, bisa agak dilonggarkan tapi syaratnya laju orang masuk karantina harus diperbesar," katanya.
Bisa Benar Bisa Tidak
Sementara itu, Juru Bicara Pemerintahan untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan perhitungan itu bisa benar dan bisa juga tidak.
"Perhitungan itu bisa benar bisa enggak," ujar Yuri saat dihubungi, Sabtu (28/3) malam.
Yuri juga menanggapi usulan untuk dilakukan karantina agar virus Corona segera berakhir. Menurut Yuri saat ini orang yang terinfeksi corona sulit diketahui karena tidak memiliki gejala yang signifikan sehingga belum sempat untuk dikarantina.
"Orang dikarantina itu artinya dicegah terjadinya penularan. Caranya adalah yang sakit tidak boleh ketemu sama yang sehat. Kan masalahnya kita nggak tahu siapa yang sakit. Pada orang yang masih sehat yang muda nggak ada keluhan apa-apa lho," jelasnya.
Yuri mengatakan mayoritas kajian itu menggunakan perhitungan penambahan kasus corona per hari. Menurutnya ada juga ilmuan yang memprediksi puncak corona di Indonesia ada pada akhir April.
"Artinya, ramalan atau kajian dari banyak imun termasuk yang saya baca juga perhitungannya mereka sama-sama menghitung dari penambahan hari perhati, terus perilaku masyarakat itu dihitung semua sama dia, dihitung dengan cara seperti itu 'waduh kalau seperti ini caranya kurang lebih baru bisa mencapai puncak di sekitar April," katanya.
Yuri mengatakan, apabila jaga jarak fisik terus dilakukan bukan tidak mungkin pada minggu keempat April kasus corona akan menurun. Dia menyebut mayoritas perkembangan kasus corona di seluruh dunia relatif sama.
"Ada yang mengatakan, kalau social distancingnya berhasil itu pada minggu kedua ketiga april itu puncak. Setelah itu akan penambahan kasus baru lebih dikit. Hampir sama grafiknya di Wuhan, di mana-mana. Naik, terus turun," ungkapnya. (detikcom/d)