Jakarta (SIB)
Kapolri Jenderal Idham Azis mencopot Kadiv Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Nugroho Wibowo. Keduanya dicopot karena disebut tersandung masalah pelanggaran kode etik.
"Ya, betul (Napoleon dan Nugroho dimutasi-red)," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono, saat dikonfirmasi, Jumat (17/7).
Argo mengatakan pelanggaran yang membuat Napoleon dicopot dari jabatannya adalah karena tidak melakukan kontrol atau pengawasan kepada jajarannya.
"Pelanggaran kode etik, tidak kontrol pengawasan ke stafnya," sambung Argo.
Keputusan pencopotan jabatan itu tertuang dalam surat telegram ST/2074/VII/KEP./2020 yang diteken oleh As SDM Kapolri, Irjen Sutrisno Yudi dan terbit kemarin.
Sebelumnya Brigjen Nugroho Wibowo dikenakan sanksi kode etik oleh Divisi Propam Polri. Sanksi yang diberikan terkait red notice buronan Djoko Tjandra.
"Jadi ada satu kesalahan di sana yang tidak dilalui dalam surat (red notice) itu. Jadi kita kenakan (sanksi) etik di sana," kata Argo pada kesempatan berbeda kemarin.
Nugroho dinilai tak melapor kepada pimpinannya yakni Kadiv Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, soal urusan surat red notice Djoko Tjandra. Argo menjelaskan pihak yang berhak mengajukan red notice adalah penyidik.
"Ini yang ditemukan oleh Propam bahwa ada kewenangan yang seharusnya dilakukan kepada pimpinan, sehingga tidak melaporkan ke sana (pimpinan). Dan tentunya namanya surat, ya menanyakan berkaitan red notice itu adalah peyidik yang mengajukan," jelas Argo.
Ter-delete by System
Soal red notice Djoko Tjandra, Argo menuturkan Divisi Hubungan Internasional telah bersurat ke Dirjen Imigrasi pada 13 Februari 2015 untuk memperpanjang red notice Djoko Tjandra. Argo melanjutkan, NCB Intepol Indonesia kemudian bersurat lagi kepada Dirjen Imigrasi pada 5 Mei 2020.
"Pak Kadiv Hubinter tanggal 12 Februari 2015 mengirim ke Dirjen Imigrasi, kemudian itu upaya Polri. Kemudian ada surat dari NCB lagi ke Dirjen Imigrasi tanggal 5 Mei 2020," jelas Argo.
Isi surat itu adalah pemberitahuan dari Polri kepada Imigrasi terkait nama Djoko Tjandra terhapus dalam sistem DPO Interpol.
"Menyampaikan 'Ini lho Pak Dirjen Imigrasi, bahwa red notice atas nama Djoko Tjandra sudah ter-delete by system, maka inilah surat ini diterbitkan oleh Set NCB kepada Dirjen Imigrasi tertanggal 5 Mei 2020," terang Argo.
Argo mengatakan penghapusan otomatis itu karena masa berlaku red notice yang hanya kurun 5 tahun. Hal itu merujuk pada aturan Interpol tentang red notice yang termuat pada pasal 51 dan 68.
"Adanya red notice Djoko Tjandra di tahun 2009, kemudian juga ada isu berkembang kok sudah terhapus, atau ter-delete, memang di tahun 2014 itu 2009-2014 itu sudah 5 tahun itu adalah delete, delete by system sesuai dengan article nomor 51 di Interpol Rules Processing of Data itu pasal 51 di article 51 itu ada tertulis delete automatically di sana, ada otomatis di sana ter-delete by system, ini di article 51," papar Argo.
"Kemudian di dalam article 68 itu bahwa file ini ada batas waktunya 5 tahun," sambungnya.
Argo mengatakan red notice Djoko Tjandra telah diajukan sejak 2009 atas permintaan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam pengajuan tersebut tentu melalui persyaratan yang harus dilakukan.
"Kemudian berkaitan dengan kasus Djoko Tjandra tahun 2009 Kejagung ajukan permintaan red notice kepada dulu namanya Sekretaris NCB Interpol, tentunya kan pengajuannya itu ada beberapa persyaratan yang diajukan, ada surat lapju, ada surat DPO nya, yang bahasa surat penangkapan ada bahasa Indonesia, bahasa Inggris," ungkap Argo.
"Kemudian juga ada pelintasan dan kalau juga ada sidik jari dan ada dilakukan gelar perkara di Bareskrim di sana yang ingin melihat sejauh mana daripada keterlibatan buronan ini yang akan masuk ke red notice," imbuhnya.
Argo kemudian menerangkan pada 2015 muncul kabar buronan hak tagih (cessie) Bank Bali ini yang berkeliaran di Papua Nugini.
Saat itulah kata Argo, pihaknya dari Kadiv Hubminter segera mengirim surat untuk mengajukan DPO atas nama yang bersangkutan.
"Kemudian tahun 2015 ada isu bahwa Djoko Tjandra muncul di Papua Nugini dan kemudian pada tahun 2015 itu akhirnya Kadiv Hubinter mengeluarkan surat kepada Dirjen Imigrasi tertanggal 12 Februari 2015, ini ada di sini dikatakan bahwa mohon bantuan untuk memasukkan nama Djoko Soegiharto Tjandra ke dalam DPO imigrasi," tuturnya.
Diketahui, status red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra sempat terhapus di Interpol. Kejaksaan Agung (Kejagung) pun mempertanyakan perihal itu.
"Sepanjang yang kami ketahui, yang dinyatakan DPO (Daftar Pencarian Orang) itu belum ditangkap atau tertangkap maka tentu red notice itu masih berjalan," ujar Hari Setiyono selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (15/7).
Hari menyebut pengajuan red notice untuk terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali ke Interpol itu sudah dilakukan sejak 2009. Saat itu Djoko Tjandra sudah ditetapkan sebagai buronan setelah kabur.
Perihal red notice Djoko Tjandra sempat disampaikan Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi pada 30 Juni 2020. Disebutkan pada 5 Mei 2020 ada pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
"Berdasarkan pemberitahuan Sekretaris NCB Interpol, Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020," demikian bunyi keterangan dari Ditjen Imigrasi tersebut.
Baru setelahnya, pada 27 Juni 2020, Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memasukkan Djoko Tjandra dalam daftar pencarian orang (DPO). Ditjen Imigrasi pun memasukkan nama Djoko Tjandra lagi ke dalam sistem perlintasan dengan status DPO. (detikcom/c)