Jakarta (SIB)
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menuturkan dalam demokrasi yang berkembang di Indonesia, selepas reformasi, rakyat diberi kesempatan memilih Presiden dan kepala daerah secara langsung. Ia mengakui dalam demokrasi semacam itu, di satu sisi merupakan demokrasi yang terbuka namun ada tantangan yang perlu dihadapi dan dipikirkan, yaitu pemenangnya adalah suara yang terbanyak.
"Demokrasi yang berkembang mempunyai tantangan," ujar Jazilul dalam keterangannya, Jumat (4/8).
Saat sosialisasi 4 Pilar MPR yang digelar di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/9) itu, Jazilul mengatakan, demokrasi yang berkembang disebut menyehatkan namun mempunyai efek samping. Efek samping itu seperti tumbuhnya politik uang. Dalam aturan demokrasi, lanjunya, politik uang dikatakan pasal penyuapan.
"Demokrasi tak menghendaki cara-cara seperti itu," tegasnya.
Ia membandingkan politik uang sebesar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 dengan masa jabatan kepala daerah yang jangka waktunya sampai lima tahun. Hal-hal yang demikian menurutnya harus ditinggalkan.
"Yang merusak dalam kehidupan perlu ditinggalkan," paparnya.
Jazilul berharap Pemilu tidak seperti dagang sapi atau seperti pasar malam. Menurutnya, seperti pasar malam sebab di sana orang baik, pencuri, tokoh agama, berbaur. Tidak jelas mana yang baik dan buruk berkumpul.
Pria asal Pulau Bawean, Kabupaten Gresik itu berharap dalam Pilkada serentak yang digelar pada Desember 2020 tidak akan terjadi politik uang dan praktik-praktik dagang sapi. Tak hanya itu, ia juga berharap pelaksanaan Pilkada yang digelar juga bisa berlangsung dengan damai.
"Pilihlah pemimpin yang mempunyai visi dan misi," tegasnya.
Dalam Pilkada yang akan digelar pada Desember 2020, lanjut Jazilul, bisa jadi situasi pandemi COVID-19 masih menggejala. Ia meminta dalam setiap proses dan tahapan Pilkada yang ada, masyarakat, tim sukses, dan calon kepala daerah menerapkan protokol-protokol kesehatan.
"Terhindar dari penularan COVID-19, tak ada politik uang dan dagang sapi serta berlangsung damai, itu harapan kita dalam Pilkada 2020," tutur alumni PMII itu.
TUNDA PROSES HUKUM
Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh jajaran patuh dan menjalankan Surat Telegram Rahasia bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 yang terbit pada 31 Agustus 2020 tersebut. Surat telegram itu dikeluarkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menjaga netralitas anggota Polri saat Pilkada Serentak 2020, di antaranya ada arahan untuk menunda proses hukum peserta Pilkada 2020.
"Memerintahkan seluruh anggota agar mematuhi dan melaksanakan STR Netralitas. Harus betul-betul mencermati setiap laporan yang masuk terkait para balon (bakal calon) dan paslon (pasangan calon) sehingga tidak memunculkan polemik penegakan hukum yang berdampak terhadap balon dan paslon, yang tentunya bisa merugikan balon maupun paslon yang sedang ikut konstestasi Pilkada," kata Sigit kepada wartawan, Jumat (4/9).
Sigit menyampaikan proses hukum yang memunculkan polemik dan membawa dampak yang merugikan peserta pilkada akan membuat Polri terlihat tak netral. "Ini tentunya akan menimbulkan kesan Polri tidak netral," sambung dia.
Sigit kembali menekankan penyidik harus cermat dan hati-hati dalam menyikapi laporan polisi masuk terkait peserta pilkada. Dia kemudian menjelaskan akan ada sanksi bagi yang melanggar arahan Kapolri.
"Penyidik harus cermat dan hati hati, ada sanksi apabila penyidik melanggar dan tidak mematuhi STR Kapolri tentang netralitas tersebut," ucap Sigit.
Meski demikian, dalam telegram dijelaskan peserta pilkada dapat diproses jika melakukan tindak pidana pemilihan, tertangkap tangan, dan mengancam keamanan negara. Arahan tunda kasus juga tak berlaku bagi peserta pilkada yang melakukan tindak pidana dengan sanksi hukuman penjara seumur hidup dan mati.
PROSES HUKUM
Menyikapi hal itu, Perludem menilai proses hukum calon kepala daerah jangan ditunda selama Pilkada 2020.
"Menurut saya ini sebetulnya tidak perlu dilakukan karena sama sekali kita tidak boleh mencampurkan proses penegakan hukum dengan kontestasi politik yang bernama Pilkada," kata peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil saat dihubungi, Jumat (4/9).
Fadli menilai di dalam KUHAP, UU Pemilu maupun UU Pilkada tidak ada ketentuan yang mengatur terkait penundaan proses hukum bagi peserta Pilkada. Ia berpendapat mestinya proses hukum terhadap calon kepala daerah tidak perlu ditunda jika sudah jelas bukti pidananya karena dikhawatirkan barang bukti tersebut hilang.
"Menurut saya yang mesti dijaga dan dipastikan itu soal profesionalitas penegak hukum, penegak hukum kan harusnya berdiri tegak lurus untuk menegakan hukum berdasarkan alat bukti dan peristiwa yang betul-betul sudah mereka lidik. Nah berdasarkan alat bukti itu saja kemudian penegakan hukum akan berjalan," ujarnya.
Ia mengatakan proses hukum kepada calon kepala daerah boleh terus berlanjut asalkan ada bukti-bukti yang jelas dan tidak mencari-cari kesalahan atau tidak digunakan untuk mempolitisasi lawan. Ia meminta polisi maupun kejaksaan dan KPK profesional dalam menangani kasus hukum.
"Masa nanti kalau misalnya ada peristiwa hukum yang kemudian terjadi, ada alat buktinya, proses penegakan hukumnya masa harus ditunda karena ada tahapan Pilkada. Saya sih berpandangan bahwa yang mesti dijaga itu justru proses penegakan hukumnya berjalan profesional itu lah tanggungjawab kepolisian, kejaksaan dan KPK sebagai lembaga penegak hukum," ujarnya.
"Karena penegakan hukum itu kan bicara juga soal alat bukti, soal penegakan keadilan, tidak hanya pelaku pidana tapi juga pembelajaran bagi masyarakat. Tapi betul poinnya saya sepakat jangan penegak hukum ini dijadkan alat untuk menekan dan mempolitisasi lawan politik, nah itu jangan dilakukan," ungkapnya.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh jajaran patuh dan menjalankan Surat Telegram Rahasia bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 yang terbit pada 31 Agustus 2020 tersebut. Surat telegram itu dikeluarkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menjaga netralitas anggota Polri saat Pilkada Serentak 2020, di antaranya ada arahan untuk menunda proses hukum peserta Pilkada 2020. (detikcom/a)