Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 13 Juli 2025
* Gara-gara Corona, Pertumbuhan Ekonomi Jadi Sulit Diterawang

RI Butuh Terobosan Besar

* Indef: Utang Menggunung, Covid Terus Meningkat
Redaksi - Senin, 21 September 2020 09:34 WIB
379 view
RI Butuh Terobosan Besar
Foto Dok
Suahasil NazaraMarwan Jafar
Jakarta (SIB)
Pemerintah perlu terobosan besar agar Indonesia keluar dari jurang resesi. Terutama, dilakukan tim penanganan kesehatan dan ekonomi.

"Ini adalah bukti bahwa tantangan besar tim penanganan ekonomi dan kesehatan, maka harus dicari terobosan besar yang efisien, efektif dan aplikatif," kata Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar dalam keterangannya, Minggu (20/9).

Marwan melanjutkan, pemerintah mesti memberikan perhatian serius pada penanganan Covid-19 ini. Apalagi muncul asumsi ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah.

"Sebetulnya kalau kita jujur itu sudah terjadi, bisa kita lihat distrust dari sebagian masyarakat kepada pemerintah dalam menangani pandemi. Terlepas motifnya apapun, tapi itu adalah mengganggu stabilitas politik," terangnya.

Marwan juga menyoroti adanya permintaan penambahan lembaga negara bidang ekonomi yang justru membuat tumpang tindih tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Menurutnya, di tengah pandemi Covid-19 ini tidak perlu untuk menambah lembaga negara yang memang sudah ada tupoksinya.

"Saya kira itu sebagai indikator sikap tidak punya percaya diri terhadap orang yang memegang sektor ekonomi itu. Minta regulasi terus dan DPR juga setuju, semua demi kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Semua harus hati-hati, hindari penyalahgunaan kekuasaan dan tumpang tindih tupoksi," terang Marwan.

Selain itu, Marwan juga merespons pernyataan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso yang mewanti-wanti potensi ancaman krisis politik yang bersumber dari kegagalan dalam mengatasi krisis kesehatan dan ekonomi akibat Covid-19.

"Warning Ketua OJK itu harus kita antisipasi dan cermati supaya tidak terjadi. Khususnya warning Ketua OJK itu ujian kapabilitas pengambil kebijakan ekonomi dan kesehatan mengatasi pandemi Covid-19," kata Marwan.

SULIT DITERAWANG
Kondisi pandemi COVID-19 sangat mengganggu perekonomian global, termasuk menekan kondisi ekonomi di dalam negeri. Hal ini karena adanya batasan kegiatan masyarakat demi menekan penyebaran virus Corona.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan di situasi saat ini memproyeksi atau memperkirakan pertumbuhan ekonomi adalah hal yang sulit.

"Memang sangat sulit proyeksi pertumbuhan ekonomi yang solid," kata dia dalam diskusi virtual, Sabtu (19/9).
Dia mengungkapkan bahkan banyak lembaga yang memproyeksi pertumbuhan ekonomi dengan angka yang berbeda. Dari Kementerian Keuangan pada 2020 memproyeksi pertumbuhan ekonomi di kisaran -0,4% hingga 1%.
"Kalaupun ada minus tidak banyak, hanya sedikit," katanya.

Kemudian dari OECD -3,9% hingga - 2,8%. IMF -0,3%, World Bank 0%, ADB 1% dan Bloomberg 0,5%.
Selanjutnya untuk tahun 2021 dari Kemenkeu memproyeksi pertumbuhan ekonomi RI bisa positif 4,5% - 5,5%. IMF 6,1%, World Bank 4,8%, OECD 2,6% - 5,2%, ADB 5,3% dan Bloomberg 5,5%.

"Ini kan range-nya besar sekali dan merefleksikan sulitnya membuat proyeksi (pertumbuhan ekonomi) ke depan," ujar dia.
Suahasil mengungkapkan, kondisi ini memaksa agar tahun 2020 ini terlewati dulu untuk bisa membuat proyeksi lebih baik.
"Ibaratnya lewati dulu tahun ini atau masa sekarang, membuat proyeksi ke depan itu tidak semudah yang dipikirkan," jelasnya.

BEBAN UTANG RI
Indonesia saat ini masih memiliki utang untuk pembiayaan negara. Saat ini pemerintah menerbitkan utang-utang tersebut untuk menambal defisit anggaran yang terjadi karena adanya desain ulang untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Namun utang-utang yang ada saat ini juga disebut warisan sejak krisis 1998 lalu. Hingga kini, generasi sekarang juga masih harus menanggung beban utang tersebut.

Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan, akibatnya terjadi pelebaran defisit pada pembiayaan negara.
"Kalau defisit artinya pemerintah menerbitkan utang, defisit itu memang dibiayai penerbitan utang pemerintah," kata Suahasil dalam diskusi tersebut.

Dia mengungkapkan, memang ada pilihan untuk pemerintah agar tidak menarik utang. Namun ada konsekuensi belanja yang menurun. Pemerintah sudah berbicara dengan Bank Indonesia (BI) dan DPR terkait utang tersebut.

"Jadi kalau kayak gitu yang bayar siapa pak? Yang bayar utang ya teman-teman semua. Adalah kita semua, Anda yang bekerja di masa depan membayar pajak dari gaji, dari perusahaan. Pajak dikumpulkan untuk membayar utang. Semua kita yang bayar," ujar dia.

Sebelumnya memang utang pemerintah dinilai membengkak dan dinilai ugal-ugalan. Pemerintah dinilai teledor mengelola APBN termasuk kebijakan utang untuk penanganan corona.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik Rachbini mengatakan situasi saat ini adalah utang membengkak, sedangkan pandemi Covid-19 meningkat.

Dia menyoroti jumlah utang di zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hingga akhir Mei 2020 mencapai Rp 5.258,57 triliun. Utang tersebut dinilai 300% dari anggaran presiden era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 20 kali lipat dari anggaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

"Ini utang yang ugal-ugalan. Utangnya menggunung, Covid-nya terus meningkat. Jadi jumlah penerbitan utang zaman presiden Jokowi tiga kali lipat. Utang tersebut 300% dari anggaran total SBY, itu sama dengan 20 x lipat anggaran Nadiem Makarim," kata Didik dalam webinar bertajuk 'Politik APBN dan Masa Depan Ekonomi.

Suahasil mengungkapkan masyarakat Indonesia juga harus mengawasi utang-utang yang ditarik pemerintah.
"Sekarang Anda harus ikut mengawasi itu jadi tanggung jawab kita semua. (Utang) dipakai untuk program keluarga harapan (PKH) subsidi bunga dan untuk bantuan padat karya," ujar Suahasil.

Dia menyebut memang generasi sekarang masih memiliki tanggung jawab untuk membayarkan utang-utang yang dilakukan saat krisis 1998.

"Generasi sekarang ini, teman-teman semua yang masih bekerja masih punya tanggung jawab membayar utang yang dibuat oleh senior-senior kita saat krisis 1998. Ini belum selesai dan menjadi tanggung jawab sejarah," katanya. (detikfinance/a)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru