Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 05 Juli 2025

Ada Perubahan, Naskah Final UU Ciptaker 1.035 Halaman

* Sekjen DPR RI: Tidak Ada yang Berubah Substansinya
Redaksi - Selasa, 13 Oktober 2020 09:21 WIB
308 view
Ada Perubahan, Naskah Final UU Ciptaker 1.035 Halaman
Pradita Utama/detikcom
Foto ilustrasi buruh demo omnibus law UU Cipta Kerja.
Jakarta (SIB)
Draf final omnibus law UU Cipta Kerja sudah tersedia. Di dalamnya, ada perubahan pasal mengenai perusahaan yang bisa memberi istirahat panjang bagi buruhnya.

Ketentuan ini termuat dalam 'Bagian Kedua: Ketenagakerjaan'. Bagian ini mengubah ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Draf final UU Cipta Kerja ini berisi 1.035 halaman, yang didapat pada Senin (12/10), sedangkan draf sebelumnya, tertanggal 5 Oktober 2020 berisi 905 halaman. Perbedaan terletak pada ketentuan soal istirahat panjang yang termuat dalam Pasal 79 UU Cipta Kerja. Pada versi draf 905 halaman, Pasal 79 dalam Bagian Kedua: Ketenagakerjaan ini berisi 5 ayat. Pada versi draf final 1.035 halaman, Pasal 79 berisi enam ayat.

Ayat ke-6 yang ditambahkan dalam Pasal 79 itu mengatur perusahaan yang diperbolehkan memberikan istirahat panjang bagi buruh-buruhnya. Ketentuan bakal diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Berikut ini perbandingannya: Versi draf UU Cipta Kerja 5 Oktober 2020 905 halaman:

Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Versi draf final UU Cipta Kerja 1.035 halaman:

Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

SOAL PESANGON
Selain itu, ada perubahan kata dalam pasal yang mengatur soal pesangon PHK.

Kini, draf terbaru UU yang hendak dikirimkan ke Presiden Joko Widodo tebalnya menjadi 1.035 halaman. Secara umum, isi draf ini masih sama. Namun, ada sedikit perubahan, misalnya dalam bagian Ketenagakerjaan yang membahas soal pesangon PHK.
Pasal 156 ayat (2) draf lama berbunyi begini:

2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Sedangkan dalam draf UU Cipta Kerja terbaru, kata 'paling banyak' dihilangkan. Begini bunyinya:
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Sebelumnya, Sekjen DPR RI Indra Iskandar mengatakan naskah UU Ciptaker yang terdiri dari 1.035 halaman itu sudah final. "Iya, iya (naskah 1.035 halaman itu yang final)," kata Indra saat dihubungi, Senin (12/10). Sebelumnya naskah yang beredar berjumlah 905 halaman.

DIKIRIM
Menurut Indra, naskah sejumlah 1.035 halaman itu akan ditandatangani Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Senin (12/10) sore. Setelah itu, barulah naskah akan dikirim ke Presiden Jokowi.

"Rencana itu nanti (dikirim ke Presiden Jokowi). Nanti tunggu diparaf dulu sama Pak Azis sore ini," kata Indra.

Namun, Indra mengatakan naskah final itu belum tentu akan diserahkan ke Presiden Jokowi pada Senin (12/10). Ia menegaskan naskah harus ditandatangani oleh Azis terlebih dahulu.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI, Indra Iskandar menjelaskan halaman masih berubah karena ada penyuntingan format terhadap naskah UU Cipta Kerja.

"Itu kan tentu kalau merapikan spasi, merapikan huruf, kegeser (halaman) karena kiri kanannya dirapiin lagi. Kan nggak ada yang berubah substansinya," kata Indra saat dihubungi pada Senin (12/10).

Menurut Indra, penyuntingan terhadap format dalam naskah UU Cipta Kerja perlu dilakukan. Penyuntingan itu terkait dari ukuran huruf yang terlalu kecil hingga spasi yang dianggap terlalu rapat.

"Ya yang pentingkan substansinya bukan halamannya. Kalau halamannya kan itu format. Format itu memang harus dirapikan. Kan setelah diketuk kan dilihat lagi kalau hurufnya terlalu kecil, dirapikan, apa.. spasinya ini dilonggarkan," ujar Indra.

Lebih lanjut, Indra menekankan jumlah halaman bukanlah hal substansi dalam naskah UU Cipta Kerja. Menurutnya, dalam proses penyuntingan draf UU Cipta Kerja, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) pun turut hadir.

"Ya, sebenernya gini.. ya kalau ngomong substansi ya, sebenarnya bukan soal halaman. Itu kan berapa halaman pun itu kan format. Yang penting substansinya tidak ada yang hilang. Karena kan untuk mengubah format segala macam kan itu semua Kapoksi-kapoksi hadir menyaksikan," jelas Indra.

Menurutnya, tak perlu ada yang dipersoalkan mengenai naskah UU Cipta Kerja yang masih mengalami perubahan halaman usai dirapikan. Indra mengatakan, hal yang tidak boleh dilakukan adalah mengubah isi dari UU tersebut.

"Ya nggak apa-apa halamannya berubah kan itu kan harus rapi. Mau dikirim ke Presiden jadi undang-undang kan memang harus rapi, harus dicek lagi, kalau yang kemarin-kemarin itu misal terlalu rapat barisnya, terlalu rapat kan nggak ada masalah merapikan itu. Kecuali kalau mengubah isi ya," sebutnya.(detikcom/a)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru