Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 07 Juli 2025

KPK: Ada Calon Kepala Daerah Terang-terangan Ingin Balik Modal

* Biaya Pencalonan Tinggi Berpotensi Adanya Konflik Kepentingan
Redaksi - Selasa, 01 Desember 2020 10:02 WIB
562 view
KPK: Ada Calon Kepala Daerah Terang-terangan Ingin Balik Modal
Foto: dok. Antara Foto
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar 
Jakarta (SIB)
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengaku kesal mendengar cerita calon kepala daerah di suatu tempat makan yang mengaku akan mengembalikan modal pencalonannya saat menjabat. Calon kepala daerah itu mengaku kepada timnya akan bekerja selama 3 tahun untuk rakyat, dan 2 tahun berikutnya untuk mengembalikan modal pencalonan Pilkada.

Awalnya Lili berada di sebuah tempat makan di suatu kota. Saat itu dia mendengar ada calon kepala daerah bersama rombongannya sedang berbicara tentang pencalonannya di Pilkada.

"Saya pertama tidak mengenal siapa rombongan yang ada di depan saya, tetapi kemudian saya mengamati ternyata itu adalah salah satu calon kepala daerah yang akan ikut dalam kontestasi politik di 9 Desember yang akan datang," kata Lili dalam webinar Pembekalan Pilkada Berintegritas Cakada Provinsi Sumatera Barat, Bali dan Papua, yang disiarkan di YouTube Kanal KPK, Kamis (26/11).

Di tempat makan tersebut, calon kepala daerah itu mengatakan kepada tim suksesnya akan mengembalikan modal pencalonannya dalam 2 tahun masa akhir jabatannya jika terpilih sebagai kepala daerah. Mendengar ucapan tersebut, Lili kesal dan mengatakan kepada tim sukses itu, KPK akan memantau calon kepala daerah itu.

"Dengan lantang dia mengatakan begini, 'kita cukup tiga tahun bekerja untuk rakyat, dan dua tahun berikutnya kita harus mengembalikan apa yang telah kita keluarkan'. Dan saya terkaget. Mudah-mudahan itu tidak ada di antara Bapak-Ibu semua calon kepala daerah," ujar Lili.

"Sehingga saya sampaikan kepada timnya, saya katakan bahwa saya akan mencatat anak tersebut dan saya akan mengikuti perkembangan seterusnya. Karena kita juga menjadi marah dengan kalimat-kalimat yang demikian dilontarkan di depan para tim suksesnya dan pada saat itu dia menguasai forum di restoran tersebut," sambungnya.

Lili mengaku kesal mendengar alasan 'pembenaran' tindak pidana korupsi untuk mengembalikan modal pilkada yang telah dikeluarkan. Lebih lanjut, ia mengatakan ada banyak pintu masuk tindak pidana korupsi, paling mudah salah satunya adalah markup anggaran.

Lebih lanjut Lili mengatakan, ada beragam alasan 'pembenar' kepala daerah sehingga melakukan korupsi. Salah satunya mengembalikan modal biaya pencalonan hingga persiapan pencalonan pada periode berikutnya.

"Ada sejumlah alasan yang sering kali disampaikan oleh kepala daerah sebagai alasan pembenar ketika melakukan tindak pidana korupsi dan alasan itu berkaitan tentu dengan adanya keharusan mengembalikan biaya-biaya pada saat pencalonan atau kemudian biaya untuk balas jasa terhadap para sponsor pada saat pilkada berjalan atau juga untuk persiapan," kata Lili.

"Jadi menabung pada pilkada berikutnya atau pemilihan berikutnya untuk masa jabatan berikutnya atau juga untuk persiapan anggota keluarganya kelak yang akan maju," sambungnya.

Capai Rp 100 M
KPK mengungkap data calon kepala daerah yang mencalonkan diri di pilkada berbiaya tinggi. Berdasarkan data dari Kemendagri, KPK mengungkap biaya pencalonan bupati dan wali kota berkisar Rp 20-30 miliar, sedangkan pencalonan gubernur diperkirakan Rp 20-100 miliar.

"Berdasarkan kajian Litbang Kemendagri sebagaimana dikutip biayanya sungguh luar biasa, untuk menjadi bupati atau menjadi wali kota dibutuhkan biaya sebesar Rp 20-30 miliar, dan untuk menjadi calon gubernur itu dibutuhkan biaya sebesar Rp 20-100 miliar," kata Lili Pintauli Siregar.

Ia mengatakan, pencalonan Pilkada yang berbiaya tinggi ini berpotensi adanya konflik kepentingan. Selain itu, Lili mengatakan dapat dilihat pengeluaran biaya kampanye lebih tinggi daripada yang dilaporkan di Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

“Tentu saja dilihat bagaimana pengeluaran dana Pilkada itu melampaui harta kasnya. Nanti kita lihat setelah ini ada periode untuk pelaporan LHKPN, dan kemudian pengeluaran biaya kampanye aktual itu ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan di LPPDK," ujar Lili.

Adapun biaya tinggi pilkada, misalnya, calon kepala daerah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pengamanan baliho agar tidak dicopot orang lain. Selain itu, biaya politik lain yang diperlukan adalah pendanaan saksi di tiap TPS.

"Ada teman-teman yang menyampaikan bahwa memasang baliho sangat mudah tapi ternyata yang mahal adalah menjaga baliho agar tidak diruntuhkan orang. Dan kemudian bagaimana menyediakan banyak saksi di TPS yang luar biasa banyaknya dan kemudian bagaimana pengeluaran dana kampanye yang melebihi batasan dana yang ditentukan oleh KPU," ujarnya.

Selain itu, KPK menyebut ada potensi politik balas budi bagi calon kepala daerah terpilih yang saat pencalonannya didanai sponsor. Lili menyebut justru ada sponsor yang mengharapkan imbalan ketika calon kepala daerah yang didanainya terpilih.

"Jadi ada istilah tidak ada makan siang yang gratis, memang ini dikhawatirkan calon kepala daerah akan membalas jasa tersebut. Dalam hal menerima sumbangan untuk kendaraan pilkada dan sumbangan yang dilaporkan dalam LPSDK itu tidak sesuai dengan apa yang diterima olehnya," imbuhnya.

Oleh karena itu, KPK berharap APBN dapat memberikan dana parpol yang lebih tinggi daripada saat ini untuk pencalonan kepala daerah dan pencalonan anggota legislatif. Hal itu untuk menghindari Pilkada yang berbiaya tinggi.

"Setidaknya mudah-mudahan periode berikutnya keuangan kita baik, korupsi menurun sehingga kemudian partai politik bisa mendapatkan pendanaan lebih banyak sehingga tidak membuat atau membebani pada calon kepala daerah atau calon legislator yang akan maju," ujar Lili. (detikcom/f)

Sumber
: Harian SIB Edisi Cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru