Jakarta (SIB)
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas akan mengkaji isi dari surat keputusan bersama 2 menteri (Menag dan Mendagri) terkait pendirian tempat ibadah. Yaqut menekankan, perlunya aturan pendirian tempat ibadah, tetapi bukan untuk mempersulit.
"Kita kaji mana yang terbaik untuk kehidupan umat beragama. Jika ada pasal-pasal yang perlu dipertahankan, jika ada pasal-pasal yang jadi hambatan mendirikan tempat ibadah, akan kita drop, kita perjelas, tambahi, agar kita makin mudah jalankan ibadah. Dan jika harus didrop, apa cantolannya, pegangan untuk kita dirikan tempat ibadah. Tidak boleh, menurut pandangan saya, pendirian tempat ibadah tanpa aturan. Tetap harus diatur, bukan dalam kerangka mempersulit," ujar Yaqut dalam acara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) secara virtual, Senin (25/1).
Menag Yaqut dalam hal ini menjawab pertanyaan soal izin mendirikan gereja. Yaqut mengatakan, jika jajarannya berkomitmen mempermudah pendirian tempat ibadah, tinggal bagaimana komitmen pemerintah daerah setempat.
"Tentu kita berkomitmen untuk itu. Jadi untuk mempermudah setiap umat beragama atau kelompok umat beragama mendirikan tempat ibadahnya. Tetapi, yang perlu kita ketahui bersama, ini tergantung komitmen pemerintah daerah. Kalau di Kemenag tidak perlu diragukan lagi, akan kita lakukan kerja yang mempermudah kelompok umat beragama untuk mendirikan rumah ibadahnya," kata Yaqut.
Yaqut menyampaikan juga, ada beberapa faktor penghambat izin mendirikan tempat ibadah. Bahkan bisa saja karena faktor oknum di dalam Kemenag itu sendiri.
"Tentu banyak faktor, bisa jadi karena faktor soal pemahaman tidak toleran, komitmen pemerintah setempat yang tidak klir soal pendirian tempat ibadah atau bisa karena oknum-oknum di Kemenag yang membuat perizinan ini sulit. Terkait SKB 2 menteri secara kekuatan ini tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, yang asertif tidak ada SKB 2 menteri ini. Jadi sulit untuk ditegakkan," kata Yaqut.
Pada awal 2020, PGI sendiri sudah bertemu Menko Polhukam Mahfud Md dan menyampaikan sulitnya mendirikan tempat ibadah.
Saat bertemu Mahfud, PGI meminta surat keterangan bersama (SKB) dua menteri mengenai pendirian tempat ibadah direvisi.
"Itu peraturan bersama menteri untuk memfasilitasi memudahkan umat beragama, bukan untuk membatasi, nah yang terjadi sekarang, masyarakat menafsirkannya dan menggunakannya untuk membatasi, dalam kerangka inilah kami meminta revisi," ujar Ketua PGI Gomar Gultom di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Gomar menekankan SKB dua menteri yang harus direvisi mengenai peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Gomar menyinggung adanya sistem proporsional dalam pendirian tempat ibadah.
"Revisi terhadap posisi FKUB, FKUB itu sangat proporsional dalam peraturan lama. Kita menuntut itu supaya tidak dipakai kata proporsional karena dengan proporsional itu yang terjadi voting bukan musyawarah, itu yang menghilangkan spirit bangsa kita untuk musyawarah, oleh karenanya setiap FKUB itu jumlahnya harus terdapat cerminan dari seluruh komponen masyarakat," kata Gomar.
Menurutnya, pendirian tempat ibadah tidak berpatok pada rekomendasi FKUB. Gomar menyebut izin pendirian tempat ibadah adalah otoritas negara.
"Porsi FKUB yang terutama adalah untuk dialog dan kerja sama bagi antarumat. Tidak terfokus pada rekomendasi. Rekomendasi tidak, posisi FKUB tidak boleh menjadi penentu dalam pemberian izin. Karena izin itu adalah otoritas negara. Tidak boleh otoritas negara diserahkan kepada elemen sipil dalam hal ini FKUB. FKUB kan perangkat sipil bukan otoritas negara. Kalau mau disebut rekomendasi haruslah rekomendasi dari Kemenag, misalnya kanwil atau kandep. Karena dia yang vertikal dari negara," ungkapnya.
Kutip Injil
Pada kesempatan itu Menag juga berbicara mengenai moderasi beragama dan mengambil contoh masih adanya hukum Islam atau fikih yang tidak menyesuaikan perkembangan zaman saat ini, Yaqut mengatakan semestinya fikih menyesuaikan zaman.
Awalnya, Yaqut mengutip sebuah ayat dalam Injil Matius. Yaqut menerangkan, isi ayat ini bersifat universal. Berikut isi Matius 22 ayat 37-40 yang dikutip dan dibacakan Yaqut:
Kasihilah Tuhanmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu. Inilah hukum yang terutama dan paling utama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini, tergantung semua hukum dan kitab para Nabi.
Setelah mengutip Injil Matius, Yaqut mengatakan pentingnya beragama dan tidak didasarkan keimanan buta.
"Ini kalimat ayat kitab suci yang saya kutip di dokumen, dan ini sangat luar biasa bagaimana kita beragama, tidak boleh hanya didasarkan pada keimanan buta, tetapi harus ada tujuan, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi umat kita. Ini luar biasa saya kira dan aplikasi ayat kitab suci ini pasti sangat ditunggui umat kita," sebutnya.
Kemudian Yaqut berbicara soal tema acara dan masalah moderasi agama. Yaqut mencontohkan lewat studi kasus fikih.
"Fikih dalam Islam dibuat atau dikompilasi di zaman ortodoksi agama yang sangat jauh di zaman pertengahan. Tentu ketika membuat konstruksi hukum, fuqaha, ahli fikih merumuskan, menerjemahkan dari situasi yang ada," ujar Yaqut.
Yaqut mengatakan fikih yang ada sekarang sebagian besar disusun di zaman abad pertengahan.
"Kita tahu di abad pertengahan, ada Perang Salib di antara dua keyakinan berbeda. Hukum Islam yang ada sekarang, sebagian besar dikonstruksi atau dibuat pada masa-masa seperti itu, sehingga tidak heran dalam agama saya, dalam Islam, masih banyak hukum agama yang sebenarnya tidak kompatibel dengan situasi sekarang," ungkap Yaqut.
Untuk itu, Yaqut berpandangan bahwa fikih harus direkontekstualisasi. "Padahal fikih harus menyesuaikan perkembangan zaman, harus direkontekstualiasi. Tetapi dalam Islam jarang ada yang berani melakukan rekontekstualisasi ini sehingga di banyak kejadian ini menjadi sumber masalah dan mungkin dalam umat agama lain ada situasi ini. Jadi hukum agama selain Islam ada problem dengan situasi mutakhir yang tidak kompatibel," paparnya.
Dalam moderasi beragama di Indonesia, Yaqut menyampaikan dua kunci utama. Pertama yaitu inklusivitas dan kedua masing-masing umat beragama harus jujur akan kelebihan-kekurangan masing-masing ajaran.
"Saya mungkin mengundang ketidaksetujuan, tetapi saya memiliki keyakinan, moderasi beragama itu yang pertama dituntut itu inklusif dan kedua jujur atas kelebihan sekaligus kekurangan ajaran agama kita, terutama dalam merespons situasi kontemporer," kata Yaqut.
Dalam tugasnya sebagai Menteri Agama, Yaqut menekankan sikap adil kepada semua umat beragama. Ia ingin memposisikan sebagai wasit yang adil.
"Dalam situasi tersebut, saya ingin meletakkan diri saya sebagai wasit yang benar-benar bisa bersikap adil kepada semua pemeluk agama, apa pun agamanya. Tentu ini tidak berhenti hanya jargon," ujarnya. (detikcom/f)
Sumber
: Hariansib edisi cetak