Jakarta (SIB)
DPR tengah menggodok Revisi UU Pemilu yang mengatur jadwal Pilkada 2022 dan 2023. Di tengah polemik panas ini, Ketum Partai NasDem, Surya Paloh, memerintahkan langsung Fraksi NasDem untuk menolak revisi UU Pemilu.
"Cita-cita dan tugas NasDem adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," ujar Surya Paloh dalam keterangan tertulis, Jumat (5/2).
Dalam keterangannya, Surya Paloh mengatakan bangsa Indonesia saat ini tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan melakukan upaya pemulihan ekonomi yang diakibatkannya.
Surya Paloh menambahkan, sebagai partai politik, NasDem berkewajiban melakukan telaah kritis terhadap setiap kebijakan. Namun, NasDem tetap lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya.
"Oleh karena itu, Surya Paloh mengarahkan agar Fraksi Partai NasDem DPR RI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, termasuk mendukung pelaksanaan Pilkada Serentak di 2024," demikian keterangan tertulis itu.
Menindaklanjuti arahan Surya Paloh, Fraksi Partai NasDem DPR RI beserta jajaran akan melaksanakan dan mengawal arahan Ketua Umum Surya Paloh tersebut.
TOLAK
Terpisah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggelar diskusi tekait 'Pemilu dan Pilkada 2024 : Reaslistiskah?' pada Minggu (7/2).
Wakil Ketua LHKP PP Muhammadiyah, Ridho al-Hamdi, dengan tegas mengatakan, Pemilu Serentak 2024 tidak realistis untuk dilaksanakan. Sebab ia mengatakan, dosis terhadap demokrasi terlalu tinggi.
"Jadi apakah realistis? Tidak, karena dosisnya terlalu tinggi. Kelelahan tidak hanya dihadapi penyelenggara, partai politik, karena tidak ada evaluasi kaderisasi dari pemilihan karena 2024 bertumpuk dan masyarakat lelah dan melihat ini tidak jadi baik," kata Ridho.
"Kita hindari karena demokrasi tidak akan optimal ini. Kalau dosis demokrasi Pilkada borongan, dosis jadi berlebih kemudian publik lelah berdampak terhadap ketidakpercayaan publik," tambah dia.
Ridho yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu kemudian membuka pelaksanaan Pemilu 2019 di mana banyak petugas KPPS meninggal dunia. Ini menjadi catatan serius terhadap keseriusan bagaimana pemerintah melaksanakan Pemilu.
"Berkaca Pemilu Serentak 2019 di mana data yang dipaparkan IDI poinnya banyak korban kelelahan penyelenggara di tingkat bawah, sehingga rekrutmen KPPU tidak menjadi perhatian serius. Beban berat, gaji rendah, ini berdampak pada anggaran besar, sehingga kesehatan psikis menjadi pertimbangan," ucap dia.
Selain itu, juga merujuk data dari indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh freedom house, Ridho menyebut indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan tiap tahunnya.
"Indeks demokrasi dari Freedom House sejak 2014 Indonesia melemah pada kebebasan sipil. Pada 2006 sempat membaik meski presidennya dari militer tapi puncak keserantakan terjadi pada 2014-2019. Kita lihat setelah Prabowo Jokowi sampai pascapemilu sampai detik ini dampak psikososial ke bawah masih terjadi bahkan di Sulsel ada kejadian makam dipindah karena beda pilihan," tutur Ridho.
Maka dari itu, Ridho mengatakan, sebaiknya Pemilu Serentak 2024 tidak digelar. Meski hal itu berdampak baik terhadap efisiensi anggaran, tapi tidak terhadap dampak sosial dan psikologis masyarakat.
"Poinnya Pemilu Pilkada grosir sangat tidak mungkin karena dosisnya tinggi, demokrasi kita jadi tidak stabil tapi ekstrem. Harus kita hindari agar kesehatan demokrasi NKRI tak kelebihan dosis, kita tidak lanjutkan serentak supaya kita bisa evaluasi," tutup dia.
RISIKO
Sementara itu, Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi memberikan pandangan terkait Pemilu Serentak 2024. Jika tidak ada perubahan, Pilpres, Pileg, akan digelar pada April 2024, sedangkan Pilkada akan digelar pada November 2024.
Pramono kemudian memberikan sedikit gambaran jika Pemilu Serentak 2024 tetap dipaksakan. Ia bercerita pernah membahas masalah ini beberapa minggu setelah pelaksana Pemilu 2019 kala ikut diskusi dengan civitas Fisipol UGM.
"Saya berkaca jadi setelah Pemilu 2019, beberapa minggu setelah hari H, saya diundang Fisipol UGM, saya sampaikan Pemilu dengan desain seperti itu 'serentak', sebaiknya jadi yang pertama dan terkahir," kata Pramono dalam diskusi bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Minggu (7/2).
"Saya harap Pemilu Serentak 2019 jadi yang pertama dan terkahir karena secara teknis melampaui kapasitas manusia dan KPU dalam menyiapkan logistik Pemilu," tegas Pramono.
Pramono kemudian memaparkan beberapa konsekuensi jika Pemilu Serentak 2024 tetap dipaksakan. Salah satunya yakni interval waktu pelaksanaan dan itu akan berdampak terhadap para petugas KPPS.
"Konsekuensinya waktunya terlalu dekat dari April ke November, kita sering terjebak Pemilu itu hanya soal hari. Kita lihat Pemilu nasional misalnya pada 2019 tahapannya seingat saya 18 bulan, lalu Pemilu 2014 kalau enggak salah 20-22 bulan. Jadi tahapan dimulai dari 2 tahun sebelum hari H," papar Pramono.
"Pilkada bisa 1 tahun, jadi sebelum hari H bisa berlangsung 10 bulan sampai 1 tahun," tambah dia.
"Jadi 2024 akan banyak irisan tahapan, dari 2018, 2019, kita punya pengalaman 2024 irisan makin tebal. Jadi tahapan yang berdekatan ini akan jadi sangat merepotkan teman-teman di bawah,"
Selain masalah waktu, Pramono menyebut masalah anggaran tentu akan membengkak. Menurutnya, pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 akan menggunakan APBN dari tahun 2022, 2023 dan 2024.
"Anggaran sangat besar dari APBN dan APBD untuk Pilkada. Kalau APBN dialokasikan 3 tahun anggaran kalau dilaksanakan 2024, berarti anggaran dari tahun 2022, 2023 dan 2024. Jadi anggaran ini besar," kata Pramono.
Pramono juga kembali menyinggung beban kerja KPPS di Pemilu 2019. Tercatat ada sebanyak 895 meninggal dunia, 5.175 sakit dan pengiriman logistik ke TPS terhambat sehingga banyak dilakukan PSU.
"Pemilu 5 surat suara rata-rata pemilih membutuhkan waktu 5 sampai 7 menit di TPS kalau masih muda pemula 3-5 menit tapi kalau pemilih sudah tua 7 sampai 9 menit. KPPS butuh waktu lama 5 surat suara dalam 1 pemilu butuh waktu lama untuk menghitung," tutur Pramono.
Lebih lanjut, jumlah TPS juga akan semakin banyak karena KPU harus mengejar waktu tahapan pemungutan selesai pukul 13.00. Dalam UU Pemilu, ditegaskan pemungutan tidak boleh lebih dari pukul 13.00.
"Semua pekerjaan itu dilakukan sampai dini hari bahkan lebih 24 jam sampai hari berikutnya. Jadi banyak (KPPS) tidak, tidur dari malam sebelumnya. Jadi bisa dua malam KPPS tidak tidur itu akibatnya jumlah banyak meninggal dan kecelakaan dan jatuh sakit," tutup Pramono.
Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, sebenarnya dia tidak ingin Pemilu digelar secara serentak.
Meski begitu, Pramono mengatakan pada akhirnya KPU selaku penyelanggara hanya akan mengikuti bagaimana aturan dalam Undang-undang. Mereka tidak bisa membantah jika UU menetapkan Pemilu harus kembali digelar secara serentak. (Kumparan/detikcom/a)
Sumber
: Hariansib edisi cetak